Selasa, 10 April 2012

Keuntungan & Kerugian Tumbuhan Transgenik


Keuntungan Tumbuhan Transgenik
            Tumbuhan transgenik memiliki banyak keuntungan terutama di bidang agrikultur. Keuntungan di bidang agrikultur misalnya resistensi terhadap hama, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, baik faktor biotik maupun abiotik, dan hasil yang lebih banyak. Selain keuntungan bidang agrikultur, tumbuhan transgenik juga digunakan utnuk memproduksi zat-zat tertentu, misalnya yang berguna di dunia farmasi.
            Salah satu keuntungan tumbuhan transgenik yang jelas bagi petani adalah tumbuhan menjadi tahan terhadap hama tertentu. Contohnya, pepaya resisten papaya-ringspot-virus telah dikomersialisasikan dan tumbuah di Hawaii sejak 1996 (Gonsalves, 1998). Keuntungan bagi lingkungan dari tumbuhan tahan hama yaitu menurunnya penggunaan pestisida. Tumbuhan transgenik mengandung gen resisten hama dari Bacillus thuringiensis menjadikan kemungkinan penurunan pemakaian insektisida secara signifikan di tumbuhan kapas di Amerika. Akan tetapi populasi hama dan penyebab penyakit mampu segera beradaptasi dan menjadi resisten pada pestisida, dan kemungkinan juga kan terjadi hal yang sama pada tumbuhan transgenik. Selain itu, gen resisten hama yang dikembangkan di Amerika belum tentu sesuai dengan lokasi lain, misalnya untuk daerah tropis, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasinya.

            Keuntungan lainnya dari tumbuhan transgenik adalah hasil yang lebih melimpah. Salah satu contohnya yaitu dikembangkannya varietas gandum semi kerdil dengan hasil melimpah. Gen yang bertanggungjawab untuk reduksi tinggi tumbuhan yaitu Japanese NORIN 10 (gen kerdil, gibberelin insensitif), gen ini diintroduksikan pada gandum. Gen ini memiliki dua keuntungan, yaitu mengkode tumbuhan yang lebih pendek, lebih kuat, dan merespon pupuk lebih banyak tanpa terjadi collaps dan meningkatkan hasil secara langsung dengan cara mereduksi elongasi sel pada bagian vegetatif tumbuhan, sehingga memungkinkan tumbuhan untuk lebih menumbuhkan bagian reproduktif tumbuhan yang dimakan. Gen ini telah diisolasi dan didemonstrasikan untuk berperan sama saat digunakan pada tumbuhan jenis lain (Peng et al 1999, Worland et al 1999). Teknik pengerdilan ini berpotensi untuk digunakan untuk meningkatkan produktivitas pada berbagai tumbuhan dimana hasil ekonomisnya lebih pada bagian reproduktif bukan vegetatif.
            Ketahanan terhadap faktor biotik dan abiotik juga menjadi kelebihan dari tanaman transgneik. Contohnya pada kasus penyebaran Rice Yellow Mottle Virus (RYMV) yang menginfeksi dan mengahancurkan lahan padi secara langsung. Efek sekundernya yaitu, tumbuhan padi yang bertahan hidup akan mudah terkena infeksi fungi. Sehingga menyebabkan produksi padi di Afrika terancam. Kemudian ilmuwan membuat padi transgenik yang memiliki sifat resisten terhadap RYMV, dengan begitu masalah mengenai ketahanan / resistensi terhadap virus terselesaikan dengan tumbuhan transgenik (Pinto et al., 1999). Untuk contoh ketahanan teradap faktor abiotik yaitu tumbuhan yang dimodofikasi untuk menghasilkan asam sitrat dalam jumlah banyak di akarnya sehingga bisa lebih toleran terhadap kandungan alumunium yang tinggi di tanah yang asam (de la Fuente et al, 1997). Selian itu, gen gutD pada E. coli yang mengkode sifat ketahanan pada salinitas diintroduksi pada tanaman jagung sehingga menghasilkan jagung transgenik yang tahan terhadap salinitas dan bisa ditanam di lahan marginal (Liu et al, 1999).
            Selain untuk menghasilkan tumbuhan yang toleran terhadap faktor tertentu, tumbuhan transgenik juga sering dibuat untuk menghasilkan suatu zat tertentu. Contohnya yaitu padi yang mampu memproduksi beta karoten dalam jumlah besar, sehingga memiliki biji yang berwarna kuning keemasan dan dinamakan gold rice. Gold rice ini berhasil mengatatasi masalah defisiensi vitamin A di anak-anak daerah tropis karena mengandung beta karoten yang merupakan prekursor vitamin A (Ye et al., 2000).
Ilmuwan saat ini sedang menginvestigasi potensi tumbuhan transgenik untuk memproduksi vaksin dan produk farmasi. Ini akan menjadikan produksi lebih mudah dan lebih murah serta lebih menguntungkan. Vaksin untuk penyakit infeksi saluran gastrointestinal telah diproduksi di tumbuhan , misalnya kentang dan pisang (Thanavala et al 1995). Antibodi antikanker saat ini telah diekspresi pada biji padi dan gandum yang mengenali kanker paru-paru, payudara, dan kolon dan akan sangat berguna untuk diagnosis dan terapi kanker di masa depan (Stoger et al., 2000). 

Kerugian Tumbuhan Transgenik


Potensi resiko yang bisa ditimbulkan oleh tumbuhan transgenik bisa berupa gangguan terhadap ekosistem atau gangguan kesehatan terhadap manusia. Adanya gen marker pada tumbuhan transgenik telah menjadi perhatian publik bahwa gen tersebut akan ditransfer ke organisme lain. Pada kasus merker resisten antibiotik, ada ketakutan bahwa hal tersebut akan menyebabkan resistensi antibiotik pada bakteri. Pada kasus marker resisten herbisida, dikawatirkan hal tersebut menyebabkan pembentukan rumput (gulma) yang agresif.
Tanaman transgenik Bt merupakan tanaman transgenik pertama yang dilepas di alam untuk tujuan komersial dan menempati urutan pertama dalam daftar tanaman transgenik tahan hama. Tanaman transgenik Bt merupakan hasil rekayasa genetik dengan mengintroduksi gen cry1A yang diisolasi dari bakteri gram positif B. thuringiensis. Bakteri B. thuringiensis adalah bakteri yang pada proses sporulasinya menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik dan dapat membunuh serangga (insektisidal) (Hofte dan Whiteley 1989). Kristal protein Bt yang bersifat insektisidal sering disebut dengan δ-endotoksin. Kristal ini di alam merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga karena proses proteolisis akan diubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kilo Dalton) serta mempunyai sifat insektisidal. Toksin aktif ini ber-interaksi dengan sel-sel epitel dari usus (midgut) serangga. Toksin Bt mengakibatkan terbentuknya pori-pori pada membran sel saluran pencernaan, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Sel yang terganggu tekanan osmosisnya menjadi bengkak dan pecah, sehingga serangga mati (Hofte dan Whiteley 1989).

Efek negatif dari tanaman transgenik Bt ini telah diteliti oleh beberpa peneliti antara lain pada pengaruh pemberian dengan daun milkweed yang diambil disekitar ladang jagung Bt. Milkweed (Asdepias sp.) merupakan tumbuhan yang umum ditemukan di sekitar ladang jagung di AS. Milkweed merupakan satu-satunya makanan lawa kupu-kupu monarch. Studi laboratorium membuktikan bahwa dosis tinggi serbuk sari jagung Bt yang disebarkan di atas daun milkweed membunuh larva kupu-kupu monarch (Losey et al., 1999).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hansen dan Obrycki (1999) menghasilkan hasil yang sama. Mereka memberi makan larva kupu-kupu tersebut dengan daun milkweed yang diambil disekitar ladang jagung Bt. Studi tersebut memperlihatkan akibat negatif Bt jagung terhadap kehidupan kupu-kupu monarch yang hidup disekitar ladang tersebut. Uji lapang dilakukan oleh peneliti lain (Kendall, 1999). Mereka menemukan bahwa paling sedikit 500 serbuk sari per cm untuk menyebabkan larva kupu-kupu monarch sakit. Tumbuhan milkweed yang langsung berdekatan dengan ladang jagung Bt terkontaminasi rata-rata 78 serbuk sari per cm2. Delapan puluh delapan persen milkweed dalam jarak satu meter dari tanaman jagung Bt tercemar serbuk sari dalam jumlah lebih rendah dari dari ambang batas toksisitas terhadap larva kupu-kupu monarch.
Gangguan ekologis lain yang timbul karena tumbuhan transgenik yaitu hilangnya spesies asli non transgenik. Hal ini dikarenakan tumbuhan transgenik biasanya memiliki keunggulan lebih kompetitif terhadap kondisi lingkungan ekstrem. Dengan begitu maka spesies asli non transgenik akan kalah dalam kompetisi dan bisa mengalami kepunahan. Dengan hilangnya spesies asli dari suatu ekosistem maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut.
Transfer gen horizontal juga menjadi resiko yang timbul dari tumbuhan transgenik. Penggunaan selectable marker gen resisten antibiotik pada tumbuhan transgenik telah meningkatkan perhatian pada potensi transfer dari gen-gen tersbebut pada bakteri di saluran pencernaan dan bakteri tanah atau pada sel hewan yang memakannya. Kesimpulan dari review yang telah dilakukan oleh banyak ilmuwan yaitu transfer DNA dari tumbuhan transgenik pada organisme lain sangat jarang terjadi. Ada sejumlah barrier yang harus dilewati agar transfer gen horizontal terjadi: gen harus bertahan terhadap pencernaan di saluran pencernaan atau tanah, sel bakteri atau sel mamalia harus memiliki kemampuan untuk mengambil exogenous DNA, DNA harus bertahan terhadap enzim restriksi yang dimiliki oleh host untuk manggabungkan diri pada genom pada proses rekombinasi atau perbaikan DNA. Lebih jauh lagi, jika transfer gen terjadi, tekanan selektif yang besar akan dibutuhkan untu terjadinya transfer sehingga menjadi stabil. Data terbaru meningkatkan kemungkinan transfer gen horizontal mungkin terjadi di bawah kondisi optimal alami dari transplatomik tumbuhan ketika genom bakteri mengandung sekuens homolog dengan transgen tumbuhan (Miki dan McHugh, 2004).
Transfer gen secara horizontal ini secara tidak langsung akan berakibat pada kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan kemungkinan transfer gen terjadi pada mikroorganisme patogen yang terdapat pada saluran gastrointestinal manusia. Jika transfer gen horizontal terjadi maka mikroorganisame patogen tersebut akan menjadi eresisten terhadap antibiotik tertentu dan akan sulit untuk diobati jika sudah menginfeksi manusia.
Alian gen horizontal juga mungkin terjadi antara tumbuhan trasngenik dengan tumbuhan lair. Tumbuhan budidaya telah tumbuh berdekatan dengan gulma dalam waktu yang relatif lama. Aliran gen dari tumbuhan budidaya ke gulma tergantung pada apakah hibridaisasi dan introgresi mungkin terjadi. Sebagian besar tumbuhan budidaya di dunia relatif dapat berhibridisasi dengan tumbuhan liar jika tumbuh di tempat yang sama. Aliran gen dari tumbuhan budidaya ke tumbuhan liar mungkin dapat menyebabkan perubahan signifikan pada populasi resipien, dan telah menjadi perhatian tersendiri dimana area kultivasi tumbuhan budidaya tepat berada di tengah, selain itu hibridisasi juga memungkinkan menjadi penyebab punahnya tumbuhan asli.
Potensi menyebarnya sifat resisten herbisida pada spesies liar dan tumbuhan budidaya non transgenik telah menjadi perhatian. Aliran pollen antar kultivar canola yang memiliki sifat resisten herbisida yang berbeda diketahui menghasilkan penumpukan gen.  Penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tergantung dari lingkungan, varietas, dan faktor agronomi dalam kondisi alami lapangan, derajat persilangan antara tumbuhan transgenik dengan tumbuhan tetangga yang berhubungan varietasnya dapat memberi hasil yang berbeda. Peneltitian menunjukkan bahwa aliran gen akan terjadi antara Brassica rapa dan B. napus ketika keduanya tumbuh berdekatan tetapi tidak ditemukan adanya aliran gen dengan varietas lainnya yang relatif dekat. Penanaman tumbuhan barrier yang berfungsi sebagai ‘absorber´dar ipollen tumbuhan transgenik atau mengubah jarak isolasi untuk mencegah polinasi silang dari tumbuhan transgenik kemungkinan bisa dilakukan.
Sejumlah pendekatan molekuler sedang dikembangkan untuk mencegah aliran gen dari tumbuhan transgenik ke populasi tumbuhan lainnya dan tumbuhan liar. Perkembangan transplastomic tumbuhan dimana transgen dimasukkan ke dalam genom kloroplas merupakan teknologi yang menjanjikan  untuk dikembangkan untuk mengurangi nkemungkinan terjadinya transfer transgen melalui persebaran pollen. Satu keistimewaan unik dari plastid yaitu diturunkan secara maternal, membatasi potensi persebaran transgen melalui polen. Penelitian untuk menilai kemungkinan masa depan transplastomic B. napus untuk berhibridisasi dengan B. rapa mendemonstrasikan penurunan sifat secara maternal dari kloroplas pada hibrida B. napus dan B. rapa dan disimpulkan bahwa ada persebaran dimediasi pollen pada kloroplas dari minyak rapa. Walaupun ilmuwan merasa bahwa aliran gen akan jarang terjadi jika tumbuhan diubah genetiknya pada genom kloroplas, tidak dapat memutuskan secara keseluruhan kemungkinan introgresi B. rapa pada B. napus sebagai induk betina. Sejuah ini tidak ada laporan transformasi kloroplas B. napus. Transformasi kloroplas tumbuhan atau transplatomic telah dilakukan dimana transplastomik yang stabil diidentifikasi hanya pada tembakau, tomat, dan kentang.  Penelitian pada tumbuhan lain diperlukan sebelum teknologi ini diaplikasikan secara luas.
Potensi persebaran karakter transgenik pada tumbuhan liar telah menjadi perdebatan untuk mengenai perlu tidaknya selectable marker genes di tumbuhan. Meskipun jika aliran gen pada tumbuhan lain dan populasi tumbuhan non transgenik tidak menjadi resiko lingkungan atau agrikultur, kemungkinan akan mengurangi akseptansi publik secara serius pada tumbuhan transgenik. Selectabel marker hanya akan berkontribusi pada tumbuhan liar jika ada keuntungan selektif dari marker bagi tumbuhan liar. Di masa depan perkembangan selectable marker tumbuhan dipilih yang tidak memberikan potensi keuntungan kompetitif. Pada kasus gen resisten antibiotik, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa gen ini memberikan keuntungan. Bagaimanapun, sulit untuk memprediksi pengaruh individual selectable marker yang mengubah metabolisme tumbuhan jika selectable marker terintrogresi pada spesies liar.
Jadi, letak masalah terbesar dari tumbuhan transgenik adalah pada selectable markernya. Sebaiknya untuk menghindari persebaran gen pada selectable marker pada mikroorganisme patogen yang secara tidak langsung akan merugikan manusia karena menghasilkan mikroorganisme patogen yang resisten antibiotik dilakukan meinimalisir konsumsi bagian tumbuhan transgenik oleh manusia. Jadi tumbuhan transgenik hanya digunakan untuk memproduksi zat-zat tertentu yang berguna dalam bidang farmasi, pertanian, atau bidang lainnya asaa tidak dikonsumsi langsung oleh manusia. Kemudian untuk masalah transfer gen horizontal pada spesies tumbuhan liar, diperlukan metode transformasi lain. Metode tersebut yaitu dengan transformasi genetik pada genom plastida tumbuhan. Jadi transfer gen yang biasanya dimediasi oleh pollen dapat dihinadri. Atau untuk pencegahan lainnya dilakukan pemisahan tanaman transgenik dari lingkungan luar. Kultivasi tumbuhan transgenik dilakukan di lokasi yang terisolasi. Untuk pencegahan yang lebih jauh, maka dilakukan penggantian selectable marker yang digunakan. Selectable marker yang umumnya menggunakan gen resisten herbisida atau antibiotik diganti dengan gen yang dapat di amati secara kasat mata karena diekspresikan secara kasat mata, misalnya gen yang mengkode green fluorescens protein.

2 komentar: