Air merupakan hal yang sangat dibutuhkan
baik oleh manusia maupun makhluk hidup lainnya. Kebutuhan akan air oleh manusia
terutama digunakan sebagai air minum. Penggunaan air sebagai air minum harus
memenuhi standar baku tertentu yang meliputi berbagai aspek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
tahun 2002, yang dimaksud dengan air minum adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum. Davies dan Mazumder (2003) mengelompokkan definisi
kualitas air menjadi tiga kriteria yang dapat diukur : (1) air bebas bibit
penyakit (organisme patogen), (2) air dengan bahan kimia berbahaya di bawah
ambang persyaratan dan parameter fisik dengan yang akseptabel, dan (3) air
dengan senyawa radioaktif di bawah ambang batas. Syarat kesehatan yang dimaksud
adalah standar baku dimana jika air diminum tidak akan menimbulkan masalah
kesehatan. Menurut WHO aspek yang harus dipenuhi oleh air agar layak diminum
meliputi aspek biologi, aspek kimia, aspek radiologi, dan aspek akseptabilitas
atau aspek fisik.
Aspek Biologi
Aspek biologi yaitu berdasarkan ada atau
tidaknya mikroorganisme patogen atau non patogen yang terdapat di dalam air
minum (Awaludin, 2007). Secara umum, mikroba yang paling banyak mengkontaminasi
air adalah mikroba yang berasal dari faeces manusia maupun hewan yang
mengkontaminasi. Faeces tersebut merupakan sumber dari mikroba patogenik yang
meliputi bakteri, protozoa, dan virus serta cacing (WHO, 2004).
Air minum juga bisa menjadi media
penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, protozoa ataupun virus.
Oragnisme yang banyak ditemukan di air minum yang membahayakan kesehatan
manusia, yaitu (1) bakteri : enteropathogenic Escherichia coli (E. coli 0157:H7), Vibrio cholerae, Shigella, Campylobacter jejuni, Salmonella, Yersinia
enterocolitica, (2) protozoa: Giardia
lamblia, Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii,
Balantidium coli, and (3) virus: Norwalk and Norwalk-like, Rotavirus,
Hepatitis A and E (Davies dan Mazumder, 2003). Selain bakteri, virus, dan
protozoa, organisme penyebab penyakit yang juga tersebar melalui air yaitu
cacing. Akan tetapi yang menjadi standar baku biologis menurut
KEPMENKES RI tahun 2002 hanya kandungan bakteri coliform dalam air minum, tidak
mencamtumkan mikroorganisme lain, yaitu virus, protozoa, dan cacing.
Mikroorganisme lain yang belum menjadi
perhatian pemerintah (dalam hal ini Menkes RI) adalah cyanobacteria. Kelimpahan
cyanobacteria (blue-green algae) di sumber air minum merupakan isu kesehatan
yang penting. Grup alga ini diketahui menghasilkan toksin sehingga
cyanobacteria merupakan resiko yang paling besar pada freshwater. Spesies toksigenik yaitu meliputi Anabaena, Aphanizomenon, Nodularia, Oscillatoria,
Microcystis dan dua famili meliputi Prymnesiophyceae dan Dinophyceae.
Cyanobacteria diketahui memproduksi racun hepatotoxins, cytotoxins,
neurotoxins, dan gastrointestinal disturbances serta respiratory dan reaksi
alergi. Cyanotoksin dapat melewati proses water
treatment dan resisten pada suhu tinggi (100oC). Oleh karena itu
pencegahan blooming cyanobacteria lebih efektif mereduksi toksin daripada water treatment (Davies dan Mazumder,
2003).
Aspek Kimia
Standar
baku air minum dari aspek kimia meliputi kandungan bahan organik, kandungan
bahan inorganik, tingkat keasaman, tingkat kesadahan, pestisida, dan
desinfektan (Awaludin, 2007; KEPMENKES
RI, 2002). Dalam KEPMENKES tahun 2002, standar kandungan bahan organik dan
anorganik dibagi menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik yang berpengaruh
langsung pada kesehatan dan bahan organik dan anorganik yang kemungkinan
menimbulkan keluhan pada konsumen. Standar baku air berdasarkan aspek kimia
sudah terinci dan tercantum dalam KEPMENKES RI tahun2002, baik mengenai
kandungan bahan organik, kandungan bahan inorganik, pestisida, maupun
desinfektan.
Air
yang layak minum memiliki kandungan kimia yang tidak melebihi batas yang
ditentukan. Tubuh membutuhkan bahan kimia tertentu tetapi dalam jumlah tertentu
pula, jika melebihi batas maka akan menyebabkan gangguan. Tubuh juga memiliki
ambang batas toleransi bahan kimia yang bisa diakumulasi, jika telah melebih ambang
batas maka fungsi organ tubuh akan mengalami gangguan.
Tingkat
keasaman dapat mempengaruhi rasa air minum. Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 416
Tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum air layak minum berkisar 6,5-8,5.
Dalam PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 juga ditentukan derajat kesadahan
(CaCO3) maksimum air yang layak minum adalah 500 mg per liter. Akan tetapi
derajat kesadahan ini tidak berpengaruh pada kesehatan. Hanya saja kesadahan
air ini dapat membentuk kerak jika bereaksi dengan sabun. Kesadahan air
ditentukan oleh kandungan kation logam antara lain Ca2+, Mn2+,
Sr2+, Fe2+, dan Mg2+ (Awaludin, 2007).
Aspek Radiologis
Air
minum mungkin mengandung substansi radioaktif (radionuklida) yang dapat
membahayakan kesehatan manusia. Resiko ini lebih kecil jika dibandingakn dengan
resiko yang timbul dari mikroorganisme atau bahan kimia yang mungkin terdapat
dalam air minum kecuali dalam keadaan ekstrim (WHO, 2004). Radionuklida yang
umum ditemukan di air minum adalah Radon-222 dan Radium, keduanya banyak ditemukan
di air tanah. Uranium dan radionuklida lainnya yang berpotensi menjadi
kontaminan di air tanah maupun air permukaan (Davies dan Mazumder, 2003).
Penentuan
standar baku air minum aspek radiologi yaitu dengan menentukan besaran radiasi
sinar alfa dan beta. Berdasarkan KEPMENKES RI tahun 2002, batas maksimum
aktivitas sinar alfa yang diperbolehkan yaitu sebesar 0.1 Bq/liter sedangkan
batas maksimum aktivitas sinar beta yang diperbolehkan yaitu sebesar 1
Bq/liter.
Aspek
Akseptabilitas (Fisik)
Syarat
air minum tidak hanya aman untuk dikonsumsi tapi juga dapat diterima secara
fisik, yaitu berdasarkan kenampakan, rasa, dan bau, merupakan prioritas tinggi.
Beberapa substansi yang berpengaruh pada kesehatan memiliki efek pada rasa,
bau, dan kenampakan air minum yang secara normal menyebabkan penolakan oleh
konsumen (WHO, 2004). KEPMENKES RI tahun 2002 menentukn standar baku aspek
fisik meliputi warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan.
Penentuan standar baku fisik yang meliputi
warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan sangat berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam air atau kondisi air. Warna air minum dipengaruhi oleh adanya
zat kimia tertentu yang larut dalam air atau mikroorganik tertentu yang
terdapat dalam air. Rasa dan bau juga ditentukan oleh zat yang terlarut dalam
air. Rasa dan bau yang tidak enak pada air menggambarkan kualitas air yang
buruk. Air minum yang baik adalah air minum yang tidak berbau dan tidak berasa.
Temperatur yang tidak normal menunjukkan adanya reaksi kimia yang terjadi
dalam, sehingga air yang layak minum dapat disimpulkan memiliki temperatur yang
normal. Kekeruhan yang disebabkan banyaknya zat padat tak terlarut juga menurunkan
kualitas air berdasrkan kenampakannya. Air yang layak minum haruslah nampak
benarbenar jernih (Awaludin, 2007).
Referensi :
Awaludin, N.
2007. Teknologi Pengolahan Air Tanah
sebagai Sumber Air Minum pada Skala Rumah Tangga. Seminar ”Peran Mahasiswa
Dalam Aplikasi Keteknikan Menuju Globalisasi Teknologi” Pekan Apresiasi
Mahasiswa LEM-FTSP Universitas islam indonesia
WHO. 2004. Guidelines for Drinking-water Quality,
Fourth Edition. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
907/Menkes/Sk/Vii/2002 tentang Syarat-Syarat
dan Pengawasan Kualitas Air Minum
Davies, John-Mark,
Asit Mazumder. 2003. Health and environmental policy issues in Canada: the role
of watershed management in sustaining clean drinking water quality at surface
sources. Journal of Environmental
Management 68 (2003) 273–286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar