PAH merupakan polutan persisten yang ada dimana-mana di lingkungan (Tama dan Wong, 2008). Polycyclic aromatic hidrocarbon (PAH) adalah senyawa kimia yang tersusun atas dua atau lebih cincin aromatic linier atau tersusun mengelompok. Senyawa ini hanya mengandung unsur karbon (C) dan hidrogen (H), dan juga unsur nitrogen (N), sulfur (S), dan oksigen (O) yang tersubstitusi pada cincin benzene membentuk senyawa heterocyclic aromatik. PAH berasal dari pembakaran tidak sempurna dan pirolisis dari bahan organik. Aktivitas yang melepaskan PAH ke lingkungan antara lain kebakaran hutan, letusan gunung, emisi kendaraan, pembakaran kayu, dan pembakaran bahan bakar fosil (Gan et al., 2009; Wu et al., 2008; Ferrarese et al., 2008).
Karakter dari senyawa toksik ini adalah bersifat sangat hidrofobik sehingga PAH mudah untuk menempel pada bahan organik dari partikel padat, membentuk mikropolutan yang persisten di lingkungan. Tanah yang terkontaminasi PAH berpotensi untuk menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia dan lingkungan. PAH ini memiliki efek karsinogenik dan mutagenik (Gan et al., 2009; Rivas, 2006; Wu et al., 2008; Ferrarese et al., 2008).
Usaha remediasi PAH telah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang dapat digunakan untuk meremediasi PAH menurut Gan et al. (2009) yaitu secara fisik-kimia, biologis, kimiawi, dan termal. Remediasi secara fisik-kimia dilakukan untuk memisahkan PAH dengan media terkontaminasi. Pemisahan dilakukan dengan metode khusus dikarenakan sifat PAH yang sangat hidrofobik dan lipofilik (Rivas et al, 2006). Remediasi secara kimiawi dan termal (panas) dilakukan dengan tujuan untuk melepaskan ikatan pada cincin benzene yang sangat stabil sehingga PAH mengalami transformasi struktur molekul yang kurang berbahaya(Gan et al., 2009). Metode remediasi secara kimiawi tentu akan menghasilkan senyawa residu sisa reaksi kimiawi yang nantinya memerlukan usaha tambahan untuk mengolah residu tersebut sedangkan metode termal memerlukan energi yang sangat banyak untuk menghasilkan suhu yang tinggi sehingga bisa melepaskan ikatan pada cincin benzene. Metode remediasi yang cukup efisien yaitu secara biologis. Metode remediasi PAH secara biologis memanfaatkan organisme untuk mendegradasi senyawa PAH (Gan et al., 2009). Berikut ini tabel metode remediasi PAH menurut Gan et al. (2009).
Tabel 1. Gambaran umum teknologi remediasi tanah yang terkontaminasi PAH (Gan et al., 2009).
Klasifikasi | Teknologi |
Fisik-kimia | Solvent extraction (pelarut air dan organik, surfaktan, siklodekstrin, minyak tumbuhan), supercritical fluid extraction, subcritical fluid extraction |
Biologis | Bioremediasi dengan metode Land farming, komposting, pengolahan aerob dan anaerob, dan fitoremediasi |
Kimiawi | Oksidasi kimiawi dengan berbagai oksidan (reagen Fenton, ozon, asam peroksi, KmnO4, dan H2O2), degradasi fotokatalitik, remediasi elektrokinetik |
Termal | Insinerasi, thgermal desorption, thermally enhanced soil vapour extraction |
Remediasi PAH secara biologis pada prinsipnya memanfaatkan organisme yang mampu mendegradasi PAH menjadi nutrien yang digunakan untuk kehidupan organisme tersebut (Gan et al., 2009). Degradasi senyawa kimia dengan memanfaatkan organisme disebut sebagai biodegradasi. Kenuntungan dari biodegradasi ini yaitu prosesnya terjadi secara alamiah jadi tidak terdapat residu sisa reaksi yang memerlukan pengolahan lanjutan, selain itu juga lebih efisien dalam hal biaya. Menurut Gan et al. (2009), remediasi PAH dapat dilakukan secara konvensional (in situ) dan secara modern (ex situ). Metode konvensional dilakukan dengan cara land farming, komposting, dan bioaugmentasi. Sedangkan secara modern, remediasi PAH dapat dilakukan dengan menggunakan bioreaktor yang dapat dikontrol suhu, tekanan, dan ketersediaan oksigen (aerob atau anaerob) untuk mengoptimalisasi proses degradasi PAH, dengan menginokulasikan mikroorganisme yang mendegradasi PAH baik aerob maupun anaerob, dan dengan fitoremediasi.
Metode land farming memiliki kelebihan yaitu mudah diaplikasikan, biaya yang dibutuhkan rendah, pengelolaan yang mudah, dan monitoring yang dibutuhkan tidak terlalu berat. Metode land farming dilakukan dengan cara pengadukan tanah untuk meningkatkan aerasi pada tanah yang terkontaminasi PAH. Kondisi tanah dikontol dengan mengatur temperatur, kelembapan, aerasi, pH, dan nutrien yang bertujuan untuk optimasi proses metabolisme mikroorganisme indigenous tanah dalam mendegradasi PAH. Nutrien diatur dengan menambahkan urea dan fosfat pada tanah yang terkontaminasi PAH (Gan et al., 2009). Berdasarkan jurnal penelitian Gan et al. (2009), penelitian dari Wang et al. tahun 1990 menunjukkan 90% PAH dengan berat molekul rendah dapat didegradasi dengan metode land farming tetapi PAH dengan 5-6 cincin benzene tidak tereduksi.
Metode komposting sedikit berbeda dengan metode land farming. Pada metode komposting, pengolahan tanah yang terkontaminasi PAH dilakukan dengan menambahkan limbah pertanian, misalnya batang padi. Penambahan limbah padi ini bertujuan untuk meningkatkan C/N rasio tanah (Cai et al., 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2007) menunjukkan hasil pengolahan dengan metode komposting mencapai 65% untuk PAH dengan berat molekul tinggi dan 94% untuk PAH pada umumnya. Hal ini menunjukkan metode komposting cukup berhasil meremediasi tanah yang terkontaminasi PAH.
Bioaugmentasi merupakan usaha remediasi dengan cara memasukkan (introduksi) mikroorganisme non indigenous ke dalam tanah yang tercemar polutan dan ditambah dengan nutrien untuk mendukung aktivitas mikroorganisme tersebut. Efektivitas bioaugmentasi tergantung oleh faktor abiotik (kondisi tanah meliputi pH, kandungan air, kandungan oksigen, temperatur, bioavailabilitas sumber karbon dan energi, serta jumlah cincin benzene PAH) dan faktor biotik (kompleksitas biologis tanah dan kapasitas degradasi mikroorganisme yang diintroduksi). Bioaugmentasi yang dilakukan memerlukan mikroorganisme yang berbeda dimana memiliki kemampuan mendegradasi PAH dengan berat molekul rendah dan tinggi (Teng et al., 2010). Beberapa dekade terakhir telah ditemukan jenis bakteri yang mampu mendgradasi PAH, antara lain yaitu untuk PAH dengan berat molekul rendah misalnya naftalena dan penanthrene dapat didegradasi oleh bakteri dengan genera Agmenellum, Aeromonas, Alcaligenes, Acinetobacter, Bacillus, Beijerinckia, Burkholderia, Corynebacterium, Cyclotrophicus, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella, Mycobacterium, Nocardioides, Pseudomonas, Lutibacterium, Rhodococcus, Streptomyces, Sphingomonas, Stenotrophomonas, Vibrio, dan Paenibacillus (Samanta et al., 2002 dalam Teng et al., 2010) sedangkan bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi PAH dengan berat molekul tinggi misalnya fluoranthene, pyrene, dan benzopyrene, yaitu Bacillus, Burkholderia, Cycloclasticus, Flavobacterium, Pseudomonas, Mycobacterium, and Stenotrophomonas (Kanaly and Harayama, 2000 dalam Teng et al., 2010). Berdasarkan penelitian dari Teng et al. tahun 2010 yang menggunakan Paracoccus sp. strain HPD-2 untuk diintroduksi ke dalam komunitas mikroorganisme di tanah yang tercemar PAH didapatkan bahwa bakteri tersebut dapat mendegradasi PAH dengan jumlah cincin 4, 5 dan 6 serta introduksi bakteri tersebut dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dalam mendegradasi PAH.
Saat mikroorganisme indigenous tidak mampu mendegradasi PAH sehingga PAH semakin kuat mengikat dengan media tanah dan lebih persisten maka bisa dilakukan bioremediasi secara ex situ dengan menginokulasikan mikroorganisme exogenous yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi PAH misalnya bakteri atau fungi. Paling banyak diinokulasikan yaitu mikroorganisme aerob sehingga biodegradasi yang terjadi memerlukan oksigen sebagai akseptor elektronnya. White rot fungi umum digunakan untuk biodegradasi aerobik karena memiliki kemampuan mendegradasi yang luas terhadap berbagai macam senyawa PAH. Pada skala laboratorium Irpex lacteus dan Pleurotus ostreatus mmpu mendegradasi PAH dengan cincin benzen 3-4 dengan kemampuan degradasi antara 58-73% sedangkan Cladosporium sphaerospermum dapat mendegradasi PAH bercincin 5-6 sebanyak 26% (Gan et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Tam dan Wong tahun 2008 menunjukkan bahwa bakteri Mycobacterium parafortuitum dan Sphingobium yanoikuyae mampu mendegradasi PAH dengan cincin benzene 5 sebesar 33%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Acevedo et al. tahun 2011 menggunakan white rot fungi jenis Anthracophyllum discolor, inokulasi kultur tungga fungi tersebut pada tanah steril dapat mendegradasi PAH bercincin 6 yang bersifat paling karsinogenik yaitu benzopyrene sebesar 75% dengan bantuan enzim lignolitik terutama mangan peroksidase. Penelitian yang dilakukan oleh Li et al. tahun 2012 juga menunjukkan bahwa fungi Sordariomycetes yang diinokulasikan dalam tanah yang terkontaminasi PAH dan juga telah mengandung konsorsium baktei indigenous pendegradasi PAH mampu mendegradasi PAH jenis benzopyrene, anthrazene, dan benzoanthrazene sebanyak 32,9%. Kemampuan degradasi oleh Sordariomycetes ini dipengaruhi oleh enzim laccase yang dihasilkannya. Seperti yang telah dijelaskan dalam penelitian Wu et al. tahun 2008 bahwa proses degradasi PAH oleh fungi terkait dengan efektivitas enzim lignin peroksidase, mangan peroksidase, dan laccase. Proses degradasi PAH terjadi secara enzimatis yaitu melalui peristiwa reduksi-oksidasi dimana ketiga enzim tersebut berperan sebagai mediator terjadinya oksidasi PAH sehingga ikatan pada cincin benzene penyusun PAH terlepas dan PAH dapat tergradasi.
Saat ini, untuk memudahkan dan mengoptimalkjan proses bioremediasi maka dibuat bioreaktor. Bioreaktor ini berfungsi sebagai tempat proses degradasi PAH berlangsung. Dengan adanya bioreaktor maka pengaturan suhu, tekanan, dan kondisi lainnya dapat diatur dan dikontrol dengan mudah. Penggunaan bioreaktor ini umumnya untuk biodegradasi secara aerobik dimana masih membutuhkan oksigen pada proses degradasinya. Penggunaan bioreaktor juga meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses degradasi PAH. Pada penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan white rot fungi sebagai degradator, yaitu Phanerochaete chrysosporium, Pleurotus ostreatus dan Bjerkandera adusta mampu mendegradasi PAH sebanyak 45% dalam jangka waktu yang relatif pendek yaitu 36 hari (Gan et al., 2009).
Jika kontaminasi PAH terjadi pada bagian tanah yang lebih dalam dimana kandungan oksigen sangat terbatas dan kontaminasi yang terjadi sampai pada tingkat sangat toksik maka upaya bioremediasi yang dilakukan adalah biodegradasi anaerbik. Biodegradasi anaerobik menggunakan nitrat, sulfat, besi, mangan, dan karbon dioksida sebagai akseptor elektronnya. Atau biodegradasi terjadi secara fermentatif dimana akseptor elektronnya merupakan senyawa organik. Aplikasi biodegradasi anaerobik dilakukan dengan menambahkan asetat, piruvat, atau laktat sebagai sumber karbon bagi mikroorganisme pendegradasi PAH. Biodegradasi anaerobik terhadap PAH dapat mencapai 60% untuk berbagai jenis PAH di tanah yang terkontaminasi (Gan et al., 2009).
Selain bakteri dan fungi, tumbuhan juga digunakan untuk proses bioremediasi PAH yang disebut fitoremediasi. Tumbuhan digunakan untuk bioremediasi PAH karena memiliki kemampuan untuk mengadsorb polutan, sekresi enzim oleh tumbuhan juga berperan sebagai surfaktan yang meningkatkan bioavailabilitas polutan, tumbuhan juga mampu mentransfer polutan ke bagian-bagian tubuhnya serta mentransformasi senyawa polutan sehingga tidak lagi bersifat toksik bagi tumbuhan. Tumbuhan juga berasosiasi dengan mikroorganisme pada daerah rhizosphere untuk mengoptimalisasi remediasi polutan (Gan et al., 2009).
Pada fitoremediasi, tumbuhan yang umum digunakan yaitu yang memiliki jumlah akar yang banyak dimana akar tersebut memiliki luasan area tutupan yang besar sehingga efektif dalam pengikatan polutan. Tumbuhan yang umum digunakan untuk fitoremediasi karena memiliki akar yang banyak yaitu jenis Gramineae (rumput-rumputan) (Gan et al., 2009). Pada penelitian Rezek et al. tumbuhan Lolium perenne memiliki kemampuan mengeliminasi PAH dari media sebesar 50%. Penelitian dari Cofield et al. menunjukkan kemampuan menghilangkan PAH dari media oleh tumbuhan Festuca arundinacea dan Panicum virgatum sebesar 40%. Sedangkan pada penelitian Lee et al. menunjukkan kemampuan yang lebih besar yaitu tumbuhan Panicum bisulcatum dan Echinogaluscrus-galli mampu mendegradasi PAH jenis penanthrene sebesar 99% dan PAH jenis pyrene sebesar 94% selama 80 hari pengolahan. Selain tumbuhan jenis rumput, tumbuhan pohon juga dapat digunakan untuk fitoremediasi, misalnya penelitian dari Huang et al. yang menggunakan F. Arundinacea yang mampu mendegradasi PAH dengan berat molekul tinggi dan cincin benzen 5 sebesar 78% (Gan et al., 2009).
Referensi :
Acevedo, Francisca, Leticia Pizzul, María del Pilar Castilloc, Raphael Cuevas, María Cristina Diez. 2011. Degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by the Chilean white-rot fungus Anthracophyllum discolor. Journal of Hazardous Materials 185 (2011) 212–219
Cai, Quan-Ying, Ce-Hui Mo, Qi-Tang Wu, Qiao-Yun Zeng, Athanasios Katsoyiannis, Jean-Francois F´erard. 2007. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)-contaminated sewage sludge by different composting processes. Journal of Hazardous Materials 142 (2007) 535–542
Ferrarese, Elisa, Gianni Andreottola, Irina Aura Oprea. Remediation of PAH-contaminated sediments by chemical oxidation. Journal of Hazardous Materials 152 (2008) 128–139
Gan, S., E.V. Lau, H.K. Ng. 2009. Remediation of soils contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Journal of Hazardous Materials 172 (2009) 532–549
Li, Xuanzhen, Yucheng Wu, Xiangui Lin, Jing Zhang, Jun Zeng. 2012. Dissipation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in soil microcosms amended with mushroom cultivation substrate. Soil Biology & Biochemistry 47 (2012) 191e197
Rivas, F. Javier. 2006. Polycyclic aromatic hydrocarbons sorbed on soils: A short review of chemical oxidation based treatments. Journal of Hazardous Materials B138 (2006) 234–251
Tam, N.F.Y. dan Y.S. 2008. Wong Effectiveness of bacterial inoculum and mangrove plants on remediation of sediment contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbons. Marine Pollution Bulletin 57 (2008) 716–726
Teng, Ying, Yongming Luo, Mingming Sun, Zengjun Liu, Zhengao Li, Peter Christie. 2010. Effect of bioaugmentation by Paracoccus sp. strain HPD-2 on the soil microbial community and removal of polycyclic aromatic hydrocarbons from an aged contaminated soil. Bioresource Technology 101 (2010) 3437–3443
Wu,Yucheng, Ying Teng, Zhengao Li, Xuewei Liao, Yongming Luo. 2008. Potential role of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) oxidation by fungal laccase in the remediation of an aged contaminated soil. Soil Biology & Biochemistry 40 (2008) 789–796
Tidak ada komentar:
Posting Komentar