Jumat, 13 April 2012

Bioremediasi Aplikatif untuk Mengatasi Oil Spill


           Bioremediasi yang bisa diterapkan pada tumpahan minyak pada suatu ekosistem laut dibagi menjadi 3 yaitu nutrient enrichment, seeding menggunakan  mikroorganisme alam, dan seeding dengan menggunakan mikroorganisme hasil rekombinasi genetik (US. Congress, 1991).
Nutrient Enrichment
            Dari semua faktor yang berpotensi untuk membatasi laju biodegradasi petroleum di lingkungan laut, kurang tersedianya nutrien, misalnya nitrogen dan fosfor, kemungkinan merupakan faktor yang paling penting dan paling mudah dimodifikasi. Pendekatan ini membutuhkan penambahan nutrien tersebut yang membatasi laju biodegradasi (tapi tidak menambahkan mikroorganisme) pada area tumpahan minyak dan secara konseptual tidak jauh berbeda dengan memberi pupuk pada ladang. Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah bahwa mikroorganisme pendegradasi minyak biasanya melimpah di lingkungan laut dan beradaptasi dengan baik untuk resisten pada stres lingkungan. Ketika minyak terlepas dalam jumlah besar, kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi petroleum dibatasi oleh kurang mencukupinya nutrien. Penambahan nitrogen, fosfor, dan nutrien lain dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya nutrien dan memungkinkan untuk proses biodegradasi petroleum pada laju yang optimal (US Congress, 1991).

Seeding with Naturally Occurring Microorganisms
            Seeding (disebut juga inokulasi) merupakan penambahan mikroorganisme pada suatu lingkungan untuk menaikkan laju biodegradasi. Inokulum bisa merupakan campuran dari mikroba nonindigenous dari berbagai lingkungan yang terpolusi, terutama yang dipilih dan dikultivasi untuk karakterisitik pendegradasi minyak, atau bisa merupakan campuran dari mikroba pendegradasi minyak yang diambil dari area yang akan diremediasi.  Nutrien juga selalu disertakan seed culture. Dasar pemikiran penambahan mikroorganisme pada area tumpahan minyak mungkin populasi mikroorganisme indigenous tidak termasuk dalam pendegradasi minyak dan dibutuhkan mikroorganisme tertentu untuk mendegradasi secara efisien banyak komponen minyak (US Congress, 1991).
Introduksi mikroorganisme non indigenous pada lingkungan laut masih perlu dievaluasi. Banyak ilmuwan mempertanyakan penambahan mikroba pada area tumpahan minyak karena kebanyakan area tersebut memiliki mikroba pendegradasi minyak indigenous, dan kebanyakan biodegradasi lebih dibatasi oleh kurangnya nutrien bukan kurangnya mikroba.
Mikroba introduksi tidak hanya harus mampu mendegradasi petroleum lebih baik daripada mikroba indigenous., mikoba introduksi juga harus mampu berkompetisi untuk kelangsungan hidup melawan campuran populasi organisme indigenous yang teradaptasi di lingkungan mereka.  Mikroba introduksi juga harus mampu mengatasi kondisi fisik (misalnya temperatur air, kimia, dan salinitas) dan predasi oleh spesies lain, faktor-faktor dimana organisme asli lebih teradaptasi.
            Waktu yang dibutuhkan mikroba introduksi untuk mulai memetabolisme hidrokarbon juga penting. Jika seed culture dapat menstimulasi kecepaatan biodegradasi, maka mikroba introduksi memiliki keuntungan daripada mikroba indigenous yang mungkin membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Seed culture juga harus stabil secara genetis, tidak bersifat patogenik, dan tidak menghasilkan metabolit beracun.

Seeding with Genetically Engineered Microorganisms (GEM)
Alasan dibuatnya organisme adalah kemungkinan dapat didesain untuk mampu mendegradasi fraksi petroleum lebih efektif daripada spesies alami atau mampu mendegradasi fraksi petroleum yang tidak dapat didegradasi oleh spesies alami. Agar efektif, mikroorganisme harus bisa mengatasi semua permasalahan terkait dengan seeding pada tumpahan minyak dengan mikroba non indigenous.
Pengembangan dan penggunaan GEM ini masih terbatasi oleh ilmu pengetahuan, ekonomi, regulasi, dan hambatan pandangan publik, penggunaan GEM untuk remediasi lingkungan kemungkinan tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kurangnya penelitian infrastruktur, predominansi perusahaan di bidang bioremediasi, kurangnya sharing data, dan halangan regulasi merupakan penghalang dalam penggunaan GEM secara komersial (US Congress, 1991).
Pengembangan GEM untuk aplikasi pada tumpahan minyak di laut bukan merupakan prioritas tinggi. Banyak pihak yang menilai bahwa mikroorganisme alami memiliki potensi tinggi untuk mendegradasi tumpahan minyak di laut sehingga GEM masih belum terlalu dibutuhkan.

Pengaruh Aplikasi Teknologi Bioremediasi pada Lingkungan dan Kesehatan Manusia
 Sampai saat ini, tidak ada masalah lingkungan atau kesehatan yang berhubungan dengan pengujian atau aplikasi dari teknologi bioremediasi pada tumpahan minyak di laut. Pengalaman dengan bioremediasi di laut masih terbatas, tapi masih terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa bioremediasi pada tumpahan minyak di laut aman atau risiko yang mungkin terjadi masih dapat ditoleransi. 
Perhatian terhadap beberapa efek lingkungan yang berpotensi merugikan semakin meningkat. Saah satunya yaitu kemungkinan terjadinya eutrofikasi karena penambahan nutrien (fertilizer), menyebabkan blooming alga dan deplesi oksigen; komponen dari fertilizer mungkin juga bersifat racun pada biota laut yang sensitif atau berbahaya bagi kesehatan manusia; introduksi mikroorganisme non indigenous bisa bersifat patogen bagi beberapa spessies indigenous; penggunaan teknologi bioremediasi juga dapat mengganggu keseimbangan ekologis; dan beberapa produk intermediet dari bioremediasi kemungkinan juga berbahaya.
Efek merugikan yang mungkin terjadi pada nutrient enrichment telah diteliti pad tahun 1989-90 di Alaska. Untuk mendeterminasi potensi eutrofikasi, ilmuwan mengukur kadar amonia, fosfat, klorofil, jumlah bakteri, dan produktivitas primer di kolom air secara langsung pada lepas pantai yang ditreatment dengan fertilizer dan juga di area kontrol. Ilmuwan tidak menemukan perbedaan yang signifikan diantara area kontrol dan area experiment. Tidak ada indikasi bahwa aplikasi fetilizer menstimulasi alga bloom. Akan tetapi hasil penelitin ini tidak selalu bisa berlaku pada lingkungan dengan kondisi yang berbeda dan spesies indigenous yang berbeda (US Congress, 1991).
Kemungkinan toksisitas komponen fertilizer juga telah diuji di laboratorium dan lapangan pada beberapa biota laut, termasuk sticklebacks fish, Pacific herring, silver salmon, mussels, oysters, shrimp, dan mysids. Hasil pengujian menunjukkan bahwa komponen tertentu dari fertilizer bersifat sedikit toksik pada larva kerang yang merupakan spesies biota laut yang paling sensitif. Amonia, salah satu komponen fertilizer yang menunjukkan sifat toksik akut pada hewan laut, tidak pernah mencapai level toksik, kemungkinan dipengaruhi oleh fertilizer yang dilepas di laut lepas.
Butoxyethanol yang merupakan komponen pokok dari fertilizer oleofilik berpotensi berbahaya bagi beberapa hewan laut. Komponen ini terveaporasi dari permukaan pantai kurang dari 24 jam. Diperlukan tindakan tertentu ketika mengaplikasikan oleofilik fertilizer untuk mencegah inhalasi atau kontak dengan kulit. Ilmuwan juga menunjukkan bahwa minyak yang telah mengalami treatment tidak tercuci dan terakumulasi di jaringan spesies biota laut yang diuji. Di lingkungan ini, dilusi, pasang surut, dan evaporasi mereduksi potensi pengaruh yang signifikan. Di lingkungan lain, keberadaan spesies, kedalaman air, dan termepratur air merupakan variabel yang mempengaruhi estimasi potensi pengaruh (US Congress, 1991).
Belum ada bukti yang menyatakan bahwa mikroba introduksi mungkin bersifat patogen bagi organisme lain. Dalam sebuah experimen di North Slope, ilmuwan tidak menemukan adanya kematian invertebrata yang lebih besar dengan bacterial seeding (atau fertilisasi) daripada yang terjadi saat tumpahan minyak. Mikroorganisme yang akan digunakan sebagai kandidat untuk seeding harus diteliti terlebih dulu apakah bersifat patogen pada manusia atau hewan atau tidak, termasuk patogen oportunistik seperti Pseudomonas spp.
Kemungkinan mikroba introduksi untuk berproliferasi dan mengganggu keseimbangan ekologis kurang menjadi perhatian. jika mikroba introduksi efektif, mikroorgnaisme tersebut akan mati dan dimangsa oleh protozoa setelah mereka menggunakan minyak dari tumpahan. Perhatian lebih besar yaitu mikroba yang diintroduksi dari lingkungan lain tidak akan mampu berkompetisi sebaik spesies indigenous dan akan mati sebelum mereka mendegradasi minyak secara efektif.
Perhatian yang sama dan lebih besar pada mikroorganisme rekombinan yang diintroduksi. Sebelum organisme diintroduksi pada lingkungan laut, pengetahun mengenai potensi pengaruh pada lingkungan sangat dibutuhkan dan regulasi ofisial dan publik akan menjadi lebih familiar dengan teknik mitigasi biologis.
Perhatian ekstra adalah bahwa bakteri yang mendegradasi hidrokarbon kompleks yang terkandung dalam minyak mungkin meninggalkan produk dari biodegradasi parsial yang lebih toksik pada organisme laut daripada komponen original dari minyak. Produk interrmediet misalnya quinon dan naftalena mungkin terdegradasi lebih jauh dan tidak terakumulasi di lingkungan (US Congress, 1991).

Teknologi Bioremediasi Minim Resiko
            Penggunaan teknologi bioremediasi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi serta efektivitas. Ketiga teknologi bioremediasi yang dijelaskan di atas masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan jika diaplikasikan. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat terjadinya tumpahan minyak serta daya dukung lainnya.
            Ketiga teknologi bioremediasi di atas termasuk dalam bioremediasi in situ. Bioremediasi in situ adalah pengaplikasian teknologi bioremediasi langsung di tempat terjadinya tumpahan minyak (tempat terkontaminasi). Kelebihan bioremediasi in situ adalah biaya yang lebih murah karena tidak perlu melakukan relokasi area yang terkontaminasi. Akan tetapi kekurangannya yaitu memungkinkan terjadinya gangguan ekologis di sekitar area kontaminasi dan kontrolling kondisi area lebih sulit dilakukan.
            Melihat kekurangan dari bioremediasi in situ yang memungkinkan terjadinya gangguan secara ekologis, maka lebih baik remediasi dilakukan secara ex situ. Walaupun bioremediasi ex situ mebutuhkan biaya operasional yang lebih mahal tetapi kemungkinan efek negatif bioremediasi yang dilakukan dapat di lokalisir. Selain itu kontrolling dan modifikasi kondisi dapat lebih mudah dilakukan untuk meningkatkan laju biodegradasi sehingga proses bioremediasi lebih optimal.
            Bioremediasi ex situ dapat dioptimalkan dengan merelokasi bagian yang terkontaminasi dengan tumpahan minyak pada suatu lokasi. Lokasi yang digunakan harus dipastikan tertutup dari lingkungan sekitar untuk menghindarkan meluasnya kontaminasi atau meluasnya efek negatif bioremediasi. Setelah dilakukan relokasi bioremediasi dapat dilakukan dengan seeding mikroorganisme tertentu yang memiliki kemampuan utnutk mendegradasi minyak. Kondisi dari lokasi dapat dimodifikasi yaitu dengan meningkatkan suhu menjadi optimal bagi mikroorganisme utntuk medegradasi minyak, menambahkan nutrien yang diperlukan mikroorganisme pendegradasi minyak, dan juga dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk memaksimalkan proses biodegradasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar