Minggu, 22 April 2012

Fruiting Myxobacteria



Karakteristik Fruiting Myxobacteria
            Fruiting myxobacteria  merupakan kelompok bakteri anggota dari gliding bacteria. Fruiting myxobacteria sendiri memiliki ciri-ciri merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, tidak memiliki flagela. Fruiting myxobacteria dapat membentuk fruiting bodies yang merupakan kumpulan dari sel. Bakteri jenis ini menunjukkan siklus hidup kompleks yang membutuhkan komunikasi interseluler. Walaupun tidak memiliki flagela tetapi bakteri ini dapat bergerak dengan cara gliding saat terjadi kontak dengan suatu permukaan. Bakteri jenis ini merupakan bakteri kemoorganotrof yang mengonsumsi materi organis atau dari sel bakteri lain dengan cara melisiskan selnya. Bakteri ini bersifat aerob  yang memiliki siklus sitrat lengkap dan resporatory chain (Madigan et al, 2006, Ming Jiang, 2007, dan Reichenbach, 1999). Bakteri ini juga memiliki pigmen yang berfungsi sebagai fotoprotektif dan dapat membentuk myxospore (Madigan et al, 2006).

Ekologi Fruiting Myxobacteria
            Myxobacteria merupakan mikroorganisme yang terdapat dimana-mana mulai dari Antartica sampai daerah tropis, dari permukaan laut sampai ketinggian yang tinggi. Myxobacteria paling banyak ditemukan di daerah yang hangat dan semi kering. Habitat khas dari myxobacteria yaitu tanah, mulain dari pesisir sampai gurun pasir sampai tanah yang subur. Semua myxobacteri bersifat aerobik sehingga hidupnya berada di lapisan paling atas tanah. Myxobacteria juga berkoloni di material tumbuhan yang membusuk termasuk kayu dan kulit kayu yang membusuk dan berasal dari pohon yang hidup dan mati, lichen dan serangga yang terdekomposisi, dan kotoran herbivora. Saat diisolasi dalam ruangan lembab dengan suhu 30oC selama dua hari fruiting body sudah terbentuk dari kotoran yang diisolasi dan dapat digunakan untuk memperoleh isolat murni (Reichenbach, 1999).
            Myxobacteria juga dapat diisolasi dari air tawar karena organisme darat juga sering menggunakan air tawar sehingga mungkin terjadi perpindahan mikroorganisme ke air. Berdasarkan ketahanan myxospore terhadap kekeringan, habitat air tidak terlalu sesuai untuk myxobacteria. Myxobacteria juga pernah diisolasi dari laut diambil dari pasir atau seresah  di daerah intertidal Samudra Atlantik. Akan tetapi semuanya diisolasi dalam media yang rendah kadar garamnya karena myxobacteria tidak bisa mentoleransi salinitas yang terlalu tinggi (Reichenbach, 1999).
            Banyak myxobacteria ditemukan pada habitat lumpur dengan pH basa (pH 6-8.7), misalnya Angiococcus dan Cystobacter tetapi ada juga myxobacteria yang ditemukan pada lingkungan dengan pH 3-4.7, yaitu Myxococcus sp., Corallococcus sp., dan Polyangium sp. Kebanyakan myxobacteria dapat tumbuh optimal pada suhu 30oC yang bersifat mesophilic tetapi juga ditemukan myxobacteria yang dapat tumbuh pada suhu 4-8oC yang bersifat psycrophilic. Di laboratorium, suhu yang biasa digunakan untuk mengkultur myxobacteria adalah 28-34oC dengan waktu generasi 4 dan 14 jam. Sel vegetatif mati pada suhu di atas 45oC tetapi myxospore yang tersuspensi di air dapat mentoleransi suhu 59-60oC. untuk kultur myxobacteria, pH yang sering digunakan yaitu 6.8-7.8, tetapi untuk selulosa degradator lebih rendah dengan limitasi pH 6-6.4. Sehingga pH yang baik untuk isolasi adalah berkisar pada pH 7. Myxobacteri memiliki toleransi garam yang rendah dengan rentang toleransi yang berbeda-beda tiap spesies (Reichenbach, 1999).

Siklus Hidup Fruiting Myxobacteria
            Fruiting Myxobacteria menunjukkan siklus hidup yang kompleks yang membutuhkan komunikasi inetrseluler (Gambar 1). Sel vegetatif mengekskresikan slime dan sel vegetatif bergerak sepanjang permukaan padat dan meninggalkan slime trail di belakangnya. Trail yang terbentuk digunakan oleh sel lain dalam proses swarm sehingga sel dapat bermigrasi dan berkelompok. Fruiting body yang terbentuk merupakan struktur komplekskarena adanya diferensiasi dari sel-sel penyusunnya menjadi bagian stalk  dan bagian sporangium yang mengandung myxospore (Madigan et al, 2006).

Gambar 1. siklus hidup fruiting myxobacteria

Pembentukan fruiting body tidak terjadi selama jumlah nutrien masi mencukupi untuk pertumbuhan sel vegetatif, tetapi saat kehabisan nutrien, sel vegetatif melakukan mekanisme swarm, yaitu bermigrasi untuk berkelompok yang selanjutnya akan membentuk fruiting body. Sel-sel vegetatif tersebut beragregasi karena adanya komunikasi interseluler dengan cara respon kimiawi yang saling disekresikan oleh sel-sel vegetatif sehingga satu sama lain sel-sel vegetatisaling mendekat dan membentuk gundukan atau tumpukan sel. Satu fruiting body bisa tersusun atas 109 atau lebih sel. Gundukan sel vegetatif tersebut semakin meninggi  dan mulai terjadi diferensiasi menjadi stalk dan sporangium (head). Stalk tersusun atas slime dengan sejumlah sel yang terperangkap di dalamnya. Sejumlah besar sel terakumulasi pada bagian sporangium dan berdiferensiasi menjadi myxospore.

Gambar 2. berbagai macam bentuk fruiting body.

Referensi :
Madigan MT dan Martinko JM, 2006.    Brock Biology of Microorganisms. 11nd. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc
McNeil, K. E. dan V. B. D. Skerman. 1972. Examination  of Myxobacteria  by  Scanning Electron Microscopy. International  Journal  of  Systematic  Bacteriology. Vol. 22 No. 04
Ming Jiang , De, Zhi-Hong Wu, Jing-Yi Zhao, Yue-Zhong Li. 2007. Fruiting and non-fruiting myxobacteria: A phylogenetic perspective of cultured and uncultured members of this group. Molecular Phylogenetics and Evolution 44 (2007) 545–552
Reichenbach, Hans. 1999. The ecology of the myxobacteria. Environmental Microbiology (1999) 1(1), 15–21
Sproer, Cathrin, Hans Reichenbach, dan Ecko Stackebrandt. 1999. The correlation between morphological and phylogenetic classification  of myxobacteria. International Journal of Systematic Bacteriology  (1  999), 49,  1255-1 262
Voelz, Herbert dan Martin Dworkin. 1962. Fine Structure of Myxococcus Xanthus During Morphogenesis. Department of Microbiology, Indiana University School of Medicine, Indianapolis, Indiana
Zhong Li, Yue, Wei Hu, Yu-Qing Zhang, Zhi-jun Qiu, Yong Zhang, Bin-Hui Wu. 2002. A simple method to isolate salt-tolerant myxobacteria from marine samples. Journal of Microbiological Methods 50 (2002) 205– 209

Selasa, 17 April 2012

Air Layak Minum


Air merupakan hal yang sangat dibutuhkan baik oleh manusia maupun makhluk hidup lainnya. Kebutuhan akan air oleh manusia terutama digunakan sebagai air minum. Penggunaan air sebagai air minum harus memenuhi standar baku tertentu yang meliputi berbagai aspek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2002, yang dimaksud dengan air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Davies dan Mazumder (2003) mengelompokkan definisi kualitas air menjadi tiga kriteria yang dapat diukur : (1) air bebas bibit penyakit (organisme patogen), (2) air dengan bahan kimia berbahaya di bawah ambang persyaratan dan parameter fisik dengan yang akseptabel, dan (3) air dengan senyawa radioaktif di bawah ambang batas. Syarat kesehatan yang dimaksud adalah standar baku dimana jika air diminum tidak akan menimbulkan masalah kesehatan. Menurut WHO aspek yang harus dipenuhi oleh air agar layak diminum meliputi aspek biologi, aspek kimia, aspek radiologi, dan aspek akseptabilitas atau aspek fisik.

Aspek Biologi
Aspek biologi yaitu berdasarkan ada atau tidaknya mikroorganisme patogen atau non patogen yang terdapat di dalam air minum (Awaludin, 2007). Secara umum, mikroba yang paling banyak mengkontaminasi air adalah mikroba yang berasal dari faeces manusia maupun hewan yang mengkontaminasi. Faeces tersebut merupakan sumber dari mikroba patogenik yang meliputi bakteri, protozoa, dan virus serta cacing (WHO, 2004).
Air minum juga bisa menjadi media penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, protozoa ataupun virus. Oragnisme yang banyak ditemukan di air minum yang membahayakan kesehatan manusia, yaitu (1) bakteri : enteropathogenic Escherichia coli (E. coli 0157:H7), Vibrio cholerae, Shigella, Campylobacter jejuni, Salmonella, Yersinia enterocolitica, (2) protozoa: Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, Balantidium coli, and (3) virus: Norwalk and Norwalk-like, Rotavirus, Hepatitis A and E (Davies dan Mazumder, 2003). Selain bakteri, virus, dan protozoa, organisme penyebab penyakit yang juga tersebar melalui air yaitu cacing. Akan tetapi yang menjadi standar baku biologis menurut KEPMENKES RI tahun 2002 hanya kandungan bakteri coliform dalam air minum, tidak mencamtumkan mikroorganisme lain, yaitu virus, protozoa, dan cacing.

Mikroorganisme lain yang belum menjadi perhatian pemerintah (dalam hal ini Menkes RI) adalah cyanobacteria. Kelimpahan cyanobacteria (blue-green algae) di sumber air minum merupakan isu kesehatan yang penting. Grup alga ini diketahui menghasilkan toksin sehingga cyanobacteria merupakan resiko yang paling besar pada freshwater. Spesies toksigenik yaitu meliputi  Anabaena, Aphanizomenon, Nodularia, Oscillatoria, Microcystis dan dua famili meliputi Prymnesiophyceae dan Dinophyceae. Cyanobacteria diketahui memproduksi racun hepatotoxins, cytotoxins, neurotoxins, dan gastrointestinal disturbances serta respiratory dan reaksi alergi. Cyanotoksin dapat melewati proses water treatment dan resisten pada suhu tinggi (100oC). Oleh karena itu pencegahan blooming cyanobacteria lebih efektif mereduksi toksin daripada water treatment (Davies dan Mazumder, 2003).

Aspek Kimia
Standar baku air minum dari aspek kimia meliputi kandungan bahan organik, kandungan bahan inorganik, tingkat keasaman, tingkat kesadahan, pestisida, dan desinfektan  (Awaludin, 2007; KEPMENKES RI, 2002). Dalam KEPMENKES tahun 2002, standar kandungan bahan organik dan anorganik dibagi menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik yang berpengaruh langsung pada kesehatan dan bahan organik dan anorganik yang kemungkinan menimbulkan keluhan pada konsumen. Standar baku air berdasarkan aspek kimia sudah terinci dan tercantum dalam KEPMENKES RI tahun2002, baik mengenai kandungan bahan organik, kandungan bahan inorganik, pestisida, maupun desinfektan.
Air yang layak minum memiliki kandungan kimia yang tidak melebihi batas yang ditentukan. Tubuh membutuhkan bahan kimia tertentu tetapi dalam jumlah tertentu pula, jika melebihi batas maka akan menyebabkan gangguan. Tubuh juga memiliki ambang batas toleransi bahan kimia yang bisa diakumulasi, jika telah melebih ambang batas maka fungsi organ tubuh akan mengalami gangguan.
Tingkat keasaman dapat mempengaruhi rasa air minum. Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum air layak minum berkisar 6,5-8,5. Dalam PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 juga ditentukan derajat kesadahan (CaCO3) maksimum air yang layak minum adalah 500 mg per liter. Akan tetapi derajat kesadahan ini tidak berpengaruh pada kesehatan. Hanya saja kesadahan air ini dapat membentuk kerak jika bereaksi dengan sabun. Kesadahan air ditentukan oleh kandungan kation logam antara lain Ca2+, Mn2+, Sr2+, Fe2+, dan Mg2+ (Awaludin, 2007).
Aspek Radiologis
Air minum mungkin mengandung substansi radioaktif (radionuklida) yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Resiko ini lebih kecil jika dibandingakn dengan resiko yang timbul dari mikroorganisme atau bahan kimia yang mungkin terdapat dalam air minum kecuali dalam keadaan ekstrim (WHO, 2004). Radionuklida yang umum ditemukan di air minum adalah Radon-222 dan Radium, keduanya banyak ditemukan di air tanah. Uranium dan radionuklida lainnya yang berpotensi menjadi kontaminan di air tanah maupun air permukaan (Davies dan Mazumder, 2003).
Penentuan standar baku air minum aspek radiologi yaitu dengan menentukan besaran radiasi sinar alfa dan beta. Berdasarkan KEPMENKES RI tahun 2002, batas maksimum aktivitas sinar alfa yang diperbolehkan yaitu sebesar 0.1 Bq/liter sedangkan batas maksimum aktivitas sinar beta yang diperbolehkan yaitu sebesar 1 Bq/liter.

Aspek Akseptabilitas (Fisik)
            Syarat air minum tidak hanya aman untuk dikonsumsi tapi juga dapat diterima secara fisik, yaitu berdasarkan kenampakan, rasa, dan bau, merupakan prioritas tinggi. Beberapa substansi yang berpengaruh pada kesehatan memiliki efek pada rasa, bau, dan kenampakan air minum yang secara normal menyebabkan penolakan oleh konsumen (WHO, 2004). KEPMENKES RI tahun 2002 menentukn standar baku aspek fisik meliputi warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan.
Penentuan standar baku fisik yang meliputi warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan sangat berhubungan dengan zat yang terkandung dalam air atau kondisi air. Warna air minum dipengaruhi oleh adanya zat kimia tertentu yang larut dalam air atau mikroorganik tertentu yang terdapat dalam air. Rasa dan bau juga ditentukan oleh zat yang terlarut dalam air. Rasa dan bau yang tidak enak pada air menggambarkan kualitas air yang buruk. Air minum yang baik adalah air minum yang tidak berbau dan tidak berasa. Temperatur yang tidak normal menunjukkan adanya reaksi kimia yang terjadi dalam, sehingga air yang layak minum dapat disimpulkan memiliki temperatur yang normal. Kekeruhan yang disebabkan banyaknya zat padat tak terlarut juga menurunkan kualitas air berdasrkan kenampakannya. Air yang layak minum haruslah nampak benarbenar jernih (Awaludin, 2007).


Referensi :
Awaludin, N. 2007. Teknologi Pengolahan Air Tanah sebagai Sumber Air Minum pada Skala Rumah Tangga. Seminar ”Peran Mahasiswa Dalam Aplikasi Keteknikan Menuju Globalisasi Teknologi” Pekan Apresiasi Mahasiswa LEM-FTSP Universitas islam indonesia
WHO. 2004. Guidelines for Drinking-water Quality, Fourth Edition. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor  907/Menkes/Sk/Vii/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum
Davies, John-Mark, Asit Mazumder. 2003. Health and environmental policy issues in Canada: the role of watershed management in sustaining clean drinking water quality at surface sources. Journal of Environmental Management 68 (2003) 273–286
 

Ruang Terbuka Hijau



RTH (Ruang Terbuka Hijau) merupakan kebutuhan terhadap suatu wilayah. Pengembangan RTH seharusnya dialokasikan pada posisi sentral pada kebijaksanaan spasial (Maas et al.,  2006). Pada umumnya, luasan area RTH berkorelasi negatif terhadap jumlah penduduk, berarti semakin banyak jumlah penduduk maka semakin sempit RTH yang ada padahal kebutuhan RTH meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk (Maas et al.,  2006). Hal ini seperti yang terjadi di Hanoi, dimana diperlukan peningkatan luas RTHJ dari 6842 ha menjadi 10.228 ha pada tahun 2020 sementara jumlah penduduk terus bertambah (Uy dan Nakagoshi, 2008). Kesulitan utama dalam implementasi RTH pada suatu regional dan perkotaan yaitu adanya kebijakan pengembangan industri dan pelayanan umum dimana pengembangan industri kerap menginvasi RTH yang terletak berdekatan dengan industri tersebut, pembangunan infrastruktur perkotaan yang biasanya menggusur RTH, dan permasalahan finansial dan pendapatan yang membatasi kemungkinan untuk menciptakan RTH baru dan mengelola RTH (Li et al., 2005).
Pengembangan RTH secara ekologis harus mempertimbangkan konten ekologis, konteks ekologis, dinamika ekologis, heterogenitas ekologis, dan hierarki ekologis (Flores et al.,  1998). Pemilihan spesies yang akan ditanam untuk dijadikan RTH juga harus memenuhi kriteria utama yaitu memiliki kemampuan mengurangi polusi udara dan sesuai untuk lingkungan kota. Kriteria pertama yaitu memiliki kemampuan mengurangi polusi mencakup kriteria lain yaitu jenis pohon (evergreen/deciduous), dimensi (tinggi pohon dewasa, ukuran kanopi), laju pertumbuhan, karakteristik daun, toleran terhadap polusi udara, dan potensi emisi VOC (Volatile Organic Compound) dan pollen). Sedangkan kriteria kedua yaitu sesuai dengan lingkungan perkotaan mencakup kriteria toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap berbegai kondisi tanah, mampu beradaptasi dengan iklim, toleran terhadap kekeringan, dan berumur panjang (Yang et al., 2005)
RTH memberikan manfaat multidimensional (Millard, 2000). Adanya RTH memberikan keuntungan di berbagai bidang, antara lain ekonomi, sosial, dan lingkungan. Keuntungan di bidang ekonomi mencakup biaya (reklamasi dan regenerasi), ketenagakerjaan (kesejahteraan), efisiensi energi ( pemanasan dan pendinginan), investasi ke dalam, nilai jual tanah (harga tanah, properti, pajak), pariwisata, dan industri. Keuntungan di bidang sosial meliputi  aksesibilitas, kenyamanan publik, peningkatan interaksi publik, konservasi warisan budaya, pendidikan, aset rekreasi, estetika, reduksi kriminalitas, mitigasi bencana alam. Keuntungan di bidang lingkungan meliputi perbaikan kualitas udara, temperatur, dan polutan, biodiversitas, mitigasi perubahan iklim, penghasil oksigen, konservasi alam, kualitas dan stabilisasi tanah, dan kualitas air (Doick et al., 2009; Tiwary et al., 2009; Escobedo et al., 2011; Greca et al.,  2011; Keenleyside et al., 2009; Kleerekoper et al., 2011; Jim dan Chen, 2009; Cameron et al., 2012). Akan tetapi, menurut Lo dan Jim (2012), RTH lebih difungsikan pada pragmatis mikroklimatik daripada fungsi sosial.
Penelitian dari Jim dan Chen (2010) pada RTH di kota Hongkong menunjukkan bahwa taman kota dapat memunculkan dan meningkatkan nilai ekonomi dengan menyediakan tempat publik yang dapat diakses oleh berbagai kalangan sosial, juga bernilai sosial karena meningkatkan interaksi antar penduduk. Selain itu RTH di Hongkong juga berperan dalam pengurangan polutan udara, sebagai penyangga secara ekologis, dan habitat yang mengakomodasi biodiversitas.
Salah satu peran penting RTH yaitu terhadap pencegahan pemanasan global. RTH mampu menyerap gas CO dan CO2 yang merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Penelitian dari Yang et al. (2005) menunjukkan bahwa pohon yang terletak pada bagian utama kota Beijing telah mampu menyerap CO2 sebanyak 0.2 juta ton dalam bentuk biomassa. Selain menyerap gas CO dan CO2 yang merupakan gas rumah kaca, RTH juga berperan dalam mengemisikan VOC (Volatile Organic Compound) ke atmosfer yang berperan dalam pembentukan lapisan ozon (Tiwary et al., 2009; Bealey et al., 2007; kleerekoper et al., 2011). Selain itu, adanya RTH juga meminimalisasi efek dari pemanasan global, dimana dengan adanya RTH dapat menurunkan suhu (Keenleyside et al., 2009; Kleerekoper et al., 2011), yaitu sebanyak 0.5oC – 2.3oC (Hall  et al.,  2011).
RTH juga berkorelasi positif terhadap kesehatan penduduk (Maas et al.,  2006; Tiwary et al., 2009). Kuantitas dan kualitas RTH berpengaruh signifikan terhadap kesehatan (Mitchell and Propham, 2007). Menurut penelitian dari Dadvand et al. (2012) RTH memberikan pengaruh positif terhadap kelahiran, yaitu peningkatan berat bayi yang dilahirkan pada kelompok sosial terendah. Selain itu, penelitian dari Richardson dan Mitchell (2010) membuktikan bahwa tingkat kematian penyakit kardiovaskuler dan penyakit respiratory pada pria menurun dengan adanya peningkatan luasan RTH, tetapi tidak terlalu signifikan pada wanita.
            Keberadaan RTH juga berperan dalam meminimalisasi polusi lingkungan oleh kontaminan. Penelitian Yang et al. (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2002 pohon yang terletak di bagian utama kota Beijing telah menghilangkan polutan dari udara sebanyak 1261.4 ton. Berdasarkan penelitian dari Peachey et al. (2009) disebutkan bahwa tumbuhan yang berada di sebelah jalan raya yang berfungsi sebagai RTH memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat pada jaringan daunnya. Selain logam berat, adanya RTH juga mampu mengurangai polusi udara atas Particulate Matter (PM) (Lohr dan Mims, 1995), yaitu sebanyak 772 ton (Yang et al., 2005). Penelitian dari Tallis et al. (2011) disebutkan bahwa RTH di GLA (Great London Authority) diestimasikan telah mengurangi PM10 sebanyak 852 – 2121 ton tiap tahun, yang merepresentasikan 0.7% - 1.4% dari PM10 total. Sedangkan pada penelitian dari Bealey et al. (2007) disebutkan bahwa RTH di UK local authority mampu mereduksi PM10 sebanyak 7-20%.
            Contoh konkret dari RTH yang memberikan manfaat di bidang perekonomian yaitu di kota Canberra. RTH memiliki nilai signifikan pada potensinya untuk mereduksi konsumsi energi dan memperbaiki tingkat polusi. Dengan kemampuan ini dapat diestimasi biaya ameliorasi tingkat polusi di Canberra yang dapat dihemat antara 2008 sampai 2012 yaitu mencapai US$20–$67 million (atau $66–$223/resident) (Brack, 2002).



Referensi
Bealey, W.J., A.G. McDonald, E. Nemitz, R. Donovan, U. Dragosits, T.R. Duffy, D. Fowler. 2007. Estimating the reduction of urban PM10 concentrations by trees within an environmental information system for planners. Journal of Environmental Management 85 (2007) 44–58
Brack, C.L. 2002. Pollution mitigation and carbon sequestration by an urban forest. Environmental Pollution 116 (2002) S195–S200
Ross W.F. Cameron, Tijana Blanu, Jane E. Taylor, Andrew Salisbury, Andrew  J.  Halstead,  Béatrice  Henricotb,  Ken  Thompson. 2012. The  domestic  garden    Its  contribution  to  urban  green  infrastructure. Urban  Forestry  &  Urban  Greening  xxx (2012) xxx–   xxx
Dadvand, Payam, Audrey de Nazelle, Francesc Figueras, Xavier Basagaña, Jason Su, Elmira Amoly, Michael Jerrett, Martine Vrijheid, Jordi Sunyer, Mark J. Nieuwenhuijsen. Green space, health inequality and pregnancy. Environment International 40 (2012) 110–115
Doick, K.J., G. Sellers, V. Castan-Broto, T. Silverthorne. 2009. Understanding success in the context of brownfield greening projects: The requirement for outcome evaluation in urban greenspace success assessment. Urban Forestry & Urban Greening 8 (2009) 163–178
Escobedo, Francisco J., Timm Kroeger, John E. Wagner. Urban forests and pollution mitigation: Analyzing ecosystem services and disservices. Environmental Pollution 159 (2011) 2078-2087
Flores, Alejandro, Steward T.A. Pickett, Wayne C. Zipperer, Richard V. Pouyat, Robert Pirani. 1998. Adopting a modern ecological view of the metropolitan landscape: the case of a greenspace system for the New York City region. Landscape and Urban Planning 39 1998 295–308
Greca, Paolo La, Daniele La Rosa, Francesco Martinico, Riccardo Privitera. 2011. Agricultural and green infrastructures: The role of non-urbanised areas for eco-sustainable planning in a metropolitan region. Environmental Pollution 159 (2011) 2193-2202
Hall, Justine  M. ,  John  F.  Handley,  A.  Roland  Ennos. The potential of tree planting to climate-proof high density residential areas in Manchester, UK. Landscape  and  Urban  Planning  104 (2012) 410–417
Jim, C.Y., Wendy Y. 2009. Chen. Ecosystem services and valuation of urban forests in China. Cities 26 (2009) 187–194
Jim C.Y., Wendy Y. Chen.  2010. External effects of neighbourhood parks and landscape elements on high-rise residential value. Land Use Policy 27 (2010) 662–670
Keenleyside, Clunie, David Baldock, Peter Hjerp, Vicki Swales. 2009. International perspectives on future land use. Land Use Policy 26S (2009) S14–S29
Kleerekoper, Laura, Marjolein  van  Esch, Tadeo  Baldiri  Salcedo. 2011. How to make a city climate-proof, addressing the urban heat island effect. Resources,  Conservation  and  Recycling  xxx (2011) xxx–   xxx
Li, Feng, Rusong Wanga,Juergen Paulussena, Xusheng Liu. 2005. Comprehensive concept planning of urban greening based on ecological principles: a case study in Beijing, China. Landscape and Urban Planning 72 (2005) 325–336
Lo, Alex  Y.H.,  C.Y.  Jim. 2012. Citizen attitude and expectation towards greenspace provision in compact urban milieu. Land  Use  Policy  29 (2012) 577–586

Lohr, Virginia  I. and  Caroline  H.  Pearson-Mims. 1995. Particulate Matter Accumulation On Horizontal  Surfaces  In  Interiors:  Influence  Of Foliage  Plants. Atmospheric Environment  Vol. 30, No.  14, pp.  2565-2568,  1996
Maas, Jolanda, Robert A Verheij, Peter P Groenewegen, Sjerp de Vries, Peter Spreeuwenberg. 2006. Evidence Based Public Health Policy And Practice: Green space, urbanity, and health: how strong is the relation?. J Epidemiol Community Health;60:587–592
Millard, Andy. 2000. The potential role of natural colonisation as a design tool for urban forestry Ð a pilot study. Landscape and Urban Planning 52 (2000) 173-179
Mitchell, Richard, Frank Popham. 2007. Evidence Based Public Health Policy And Practice: Greenspace, urbanity and health: relationships in England. J Epidemiol Community Health 2007;61:681–683
Peachey, C.J., D. Sinnett, M. Wilkinson, G.W. Morgan, P.H. Freer-Smith, T.R. Hutchings. 2009. Deposition and solubility of airborne metals to four plant species grown at varying distances from two heavily trafficked roads in London. Environmental Pollution 157 (2009) 2291–2299
Richardson,  Elizabeth A., Richard Mitchell. 2010. Gender differences in relationships between urban green space and health in the United Kingdom. Social Science & Medicine 71 (2010) 568-575
Tallis, Matthew,  Gail  Taylor,  Danielle  Sinnett,  Peter  Freer-Smith. Estimating  the  removal  of  atmospheric  particulate  pollution  by  the  urban  tree canopy of London, under current and future environments. Landscape and Urban Planning 103 (2011) 129– 138
Tiwary, Abhishek, Danielle Sinnett, Christopher Peachey, Zaid Chalabi, Sotiris Vardoulakis, Tony Fletcher, Giovanni Leonardi, Chris Grundy, Adisa Azapagic, Tony R. Hutchings. 2009. An integrated tool to assess the role of new planting in PM10 capture and the human health benefits: A case study in London. Environmental Pollution 157 (2009) 2645–2653
Uy Pham Duc dan Nobukazu Nakagoshi. 2008. Application of land suitability analysis and landscape ecology to urban greenspace planning in Hanoi, Vietnam. Urban Forestry & Urban Greening 7 (2008) 25–40
Yang, Jun, Joe McBride, Jinxing Zhoub, Zhenyuan Sun. The urban forest in Beijing and its role in air pollution reduction. Urban Forestry & Urban Greening 3 (2005) 65–78


Jumat, 13 April 2012

Bioremediasi Aplikatif untuk Mengatasi Oil Spill


           Bioremediasi yang bisa diterapkan pada tumpahan minyak pada suatu ekosistem laut dibagi menjadi 3 yaitu nutrient enrichment, seeding menggunakan  mikroorganisme alam, dan seeding dengan menggunakan mikroorganisme hasil rekombinasi genetik (US. Congress, 1991).
Nutrient Enrichment
            Dari semua faktor yang berpotensi untuk membatasi laju biodegradasi petroleum di lingkungan laut, kurang tersedianya nutrien, misalnya nitrogen dan fosfor, kemungkinan merupakan faktor yang paling penting dan paling mudah dimodifikasi. Pendekatan ini membutuhkan penambahan nutrien tersebut yang membatasi laju biodegradasi (tapi tidak menambahkan mikroorganisme) pada area tumpahan minyak dan secara konseptual tidak jauh berbeda dengan memberi pupuk pada ladang. Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah bahwa mikroorganisme pendegradasi minyak biasanya melimpah di lingkungan laut dan beradaptasi dengan baik untuk resisten pada stres lingkungan. Ketika minyak terlepas dalam jumlah besar, kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi petroleum dibatasi oleh kurang mencukupinya nutrien. Penambahan nitrogen, fosfor, dan nutrien lain dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya nutrien dan memungkinkan untuk proses biodegradasi petroleum pada laju yang optimal (US Congress, 1991).

Seeding with Naturally Occurring Microorganisms
            Seeding (disebut juga inokulasi) merupakan penambahan mikroorganisme pada suatu lingkungan untuk menaikkan laju biodegradasi. Inokulum bisa merupakan campuran dari mikroba nonindigenous dari berbagai lingkungan yang terpolusi, terutama yang dipilih dan dikultivasi untuk karakterisitik pendegradasi minyak, atau bisa merupakan campuran dari mikroba pendegradasi minyak yang diambil dari area yang akan diremediasi.  Nutrien juga selalu disertakan seed culture. Dasar pemikiran penambahan mikroorganisme pada area tumpahan minyak mungkin populasi mikroorganisme indigenous tidak termasuk dalam pendegradasi minyak dan dibutuhkan mikroorganisme tertentu untuk mendegradasi secara efisien banyak komponen minyak (US Congress, 1991).
Introduksi mikroorganisme non indigenous pada lingkungan laut masih perlu dievaluasi. Banyak ilmuwan mempertanyakan penambahan mikroba pada area tumpahan minyak karena kebanyakan area tersebut memiliki mikroba pendegradasi minyak indigenous, dan kebanyakan biodegradasi lebih dibatasi oleh kurangnya nutrien bukan kurangnya mikroba.
Mikroba introduksi tidak hanya harus mampu mendegradasi petroleum lebih baik daripada mikroba indigenous., mikoba introduksi juga harus mampu berkompetisi untuk kelangsungan hidup melawan campuran populasi organisme indigenous yang teradaptasi di lingkungan mereka.  Mikroba introduksi juga harus mampu mengatasi kondisi fisik (misalnya temperatur air, kimia, dan salinitas) dan predasi oleh spesies lain, faktor-faktor dimana organisme asli lebih teradaptasi.
            Waktu yang dibutuhkan mikroba introduksi untuk mulai memetabolisme hidrokarbon juga penting. Jika seed culture dapat menstimulasi kecepaatan biodegradasi, maka mikroba introduksi memiliki keuntungan daripada mikroba indigenous yang mungkin membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Seed culture juga harus stabil secara genetis, tidak bersifat patogenik, dan tidak menghasilkan metabolit beracun.

Seeding with Genetically Engineered Microorganisms (GEM)
Alasan dibuatnya organisme adalah kemungkinan dapat didesain untuk mampu mendegradasi fraksi petroleum lebih efektif daripada spesies alami atau mampu mendegradasi fraksi petroleum yang tidak dapat didegradasi oleh spesies alami. Agar efektif, mikroorganisme harus bisa mengatasi semua permasalahan terkait dengan seeding pada tumpahan minyak dengan mikroba non indigenous.
Pengembangan dan penggunaan GEM ini masih terbatasi oleh ilmu pengetahuan, ekonomi, regulasi, dan hambatan pandangan publik, penggunaan GEM untuk remediasi lingkungan kemungkinan tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kurangnya penelitian infrastruktur, predominansi perusahaan di bidang bioremediasi, kurangnya sharing data, dan halangan regulasi merupakan penghalang dalam penggunaan GEM secara komersial (US Congress, 1991).
Pengembangan GEM untuk aplikasi pada tumpahan minyak di laut bukan merupakan prioritas tinggi. Banyak pihak yang menilai bahwa mikroorganisme alami memiliki potensi tinggi untuk mendegradasi tumpahan minyak di laut sehingga GEM masih belum terlalu dibutuhkan.

Pengaruh Aplikasi Teknologi Bioremediasi pada Lingkungan dan Kesehatan Manusia
 Sampai saat ini, tidak ada masalah lingkungan atau kesehatan yang berhubungan dengan pengujian atau aplikasi dari teknologi bioremediasi pada tumpahan minyak di laut. Pengalaman dengan bioremediasi di laut masih terbatas, tapi masih terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa bioremediasi pada tumpahan minyak di laut aman atau risiko yang mungkin terjadi masih dapat ditoleransi. 
Perhatian terhadap beberapa efek lingkungan yang berpotensi merugikan semakin meningkat. Saah satunya yaitu kemungkinan terjadinya eutrofikasi karena penambahan nutrien (fertilizer), menyebabkan blooming alga dan deplesi oksigen; komponen dari fertilizer mungkin juga bersifat racun pada biota laut yang sensitif atau berbahaya bagi kesehatan manusia; introduksi mikroorganisme non indigenous bisa bersifat patogen bagi beberapa spessies indigenous; penggunaan teknologi bioremediasi juga dapat mengganggu keseimbangan ekologis; dan beberapa produk intermediet dari bioremediasi kemungkinan juga berbahaya.
Efek merugikan yang mungkin terjadi pada nutrient enrichment telah diteliti pad tahun 1989-90 di Alaska. Untuk mendeterminasi potensi eutrofikasi, ilmuwan mengukur kadar amonia, fosfat, klorofil, jumlah bakteri, dan produktivitas primer di kolom air secara langsung pada lepas pantai yang ditreatment dengan fertilizer dan juga di area kontrol. Ilmuwan tidak menemukan perbedaan yang signifikan diantara area kontrol dan area experiment. Tidak ada indikasi bahwa aplikasi fetilizer menstimulasi alga bloom. Akan tetapi hasil penelitin ini tidak selalu bisa berlaku pada lingkungan dengan kondisi yang berbeda dan spesies indigenous yang berbeda (US Congress, 1991).
Kemungkinan toksisitas komponen fertilizer juga telah diuji di laboratorium dan lapangan pada beberapa biota laut, termasuk sticklebacks fish, Pacific herring, silver salmon, mussels, oysters, shrimp, dan mysids. Hasil pengujian menunjukkan bahwa komponen tertentu dari fertilizer bersifat sedikit toksik pada larva kerang yang merupakan spesies biota laut yang paling sensitif. Amonia, salah satu komponen fertilizer yang menunjukkan sifat toksik akut pada hewan laut, tidak pernah mencapai level toksik, kemungkinan dipengaruhi oleh fertilizer yang dilepas di laut lepas.
Butoxyethanol yang merupakan komponen pokok dari fertilizer oleofilik berpotensi berbahaya bagi beberapa hewan laut. Komponen ini terveaporasi dari permukaan pantai kurang dari 24 jam. Diperlukan tindakan tertentu ketika mengaplikasikan oleofilik fertilizer untuk mencegah inhalasi atau kontak dengan kulit. Ilmuwan juga menunjukkan bahwa minyak yang telah mengalami treatment tidak tercuci dan terakumulasi di jaringan spesies biota laut yang diuji. Di lingkungan ini, dilusi, pasang surut, dan evaporasi mereduksi potensi pengaruh yang signifikan. Di lingkungan lain, keberadaan spesies, kedalaman air, dan termepratur air merupakan variabel yang mempengaruhi estimasi potensi pengaruh (US Congress, 1991).
Belum ada bukti yang menyatakan bahwa mikroba introduksi mungkin bersifat patogen bagi organisme lain. Dalam sebuah experimen di North Slope, ilmuwan tidak menemukan adanya kematian invertebrata yang lebih besar dengan bacterial seeding (atau fertilisasi) daripada yang terjadi saat tumpahan minyak. Mikroorganisme yang akan digunakan sebagai kandidat untuk seeding harus diteliti terlebih dulu apakah bersifat patogen pada manusia atau hewan atau tidak, termasuk patogen oportunistik seperti Pseudomonas spp.
Kemungkinan mikroba introduksi untuk berproliferasi dan mengganggu keseimbangan ekologis kurang menjadi perhatian. jika mikroba introduksi efektif, mikroorgnaisme tersebut akan mati dan dimangsa oleh protozoa setelah mereka menggunakan minyak dari tumpahan. Perhatian lebih besar yaitu mikroba yang diintroduksi dari lingkungan lain tidak akan mampu berkompetisi sebaik spesies indigenous dan akan mati sebelum mereka mendegradasi minyak secara efektif.
Perhatian yang sama dan lebih besar pada mikroorganisme rekombinan yang diintroduksi. Sebelum organisme diintroduksi pada lingkungan laut, pengetahun mengenai potensi pengaruh pada lingkungan sangat dibutuhkan dan regulasi ofisial dan publik akan menjadi lebih familiar dengan teknik mitigasi biologis.
Perhatian ekstra adalah bahwa bakteri yang mendegradasi hidrokarbon kompleks yang terkandung dalam minyak mungkin meninggalkan produk dari biodegradasi parsial yang lebih toksik pada organisme laut daripada komponen original dari minyak. Produk interrmediet misalnya quinon dan naftalena mungkin terdegradasi lebih jauh dan tidak terakumulasi di lingkungan (US Congress, 1991).

Teknologi Bioremediasi Minim Resiko
            Penggunaan teknologi bioremediasi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi serta efektivitas. Ketiga teknologi bioremediasi yang dijelaskan di atas masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan jika diaplikasikan. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat terjadinya tumpahan minyak serta daya dukung lainnya.
            Ketiga teknologi bioremediasi di atas termasuk dalam bioremediasi in situ. Bioremediasi in situ adalah pengaplikasian teknologi bioremediasi langsung di tempat terjadinya tumpahan minyak (tempat terkontaminasi). Kelebihan bioremediasi in situ adalah biaya yang lebih murah karena tidak perlu melakukan relokasi area yang terkontaminasi. Akan tetapi kekurangannya yaitu memungkinkan terjadinya gangguan ekologis di sekitar area kontaminasi dan kontrolling kondisi area lebih sulit dilakukan.
            Melihat kekurangan dari bioremediasi in situ yang memungkinkan terjadinya gangguan secara ekologis, maka lebih baik remediasi dilakukan secara ex situ. Walaupun bioremediasi ex situ mebutuhkan biaya operasional yang lebih mahal tetapi kemungkinan efek negatif bioremediasi yang dilakukan dapat di lokalisir. Selain itu kontrolling dan modifikasi kondisi dapat lebih mudah dilakukan untuk meningkatkan laju biodegradasi sehingga proses bioremediasi lebih optimal.
            Bioremediasi ex situ dapat dioptimalkan dengan merelokasi bagian yang terkontaminasi dengan tumpahan minyak pada suatu lokasi. Lokasi yang digunakan harus dipastikan tertutup dari lingkungan sekitar untuk menghindarkan meluasnya kontaminasi atau meluasnya efek negatif bioremediasi. Setelah dilakukan relokasi bioremediasi dapat dilakukan dengan seeding mikroorganisme tertentu yang memiliki kemampuan utnutk mendegradasi minyak. Kondisi dari lokasi dapat dimodifikasi yaitu dengan meningkatkan suhu menjadi optimal bagi mikroorganisme utntuk medegradasi minyak, menambahkan nutrien yang diperlukan mikroorganisme pendegradasi minyak, dan juga dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk memaksimalkan proses biodegradasi.

BIO-Energy


Bioalkohol
            Bioalkohol, terutama bioethanol, merupakan bioenergi yang saat ini banyak diproduksi. Saat ini bioethanol sudah banyak yang memproduksi dengan skala home industry. Penggunaannya pun sudah beragam, mulai keperluan memasak yang dibuktikan dengan dikembangkannya kompor khusus bioethanol dan juga sudah banyak inovasi mengenai penggunaan bioethanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan bermotor.
            Produksi bioethanol yang saat ini kebanyakan menggunakan bahan dasar berupa pati, menimbulkan permasalahan tertentu. Pati yang merupakan cadangan makanan tumbuhan, merupakan bagian yang digunakan oleh manusia maupaun hewan sebagai sumber makanan. Dengan penggunaan pati sebagai bahan dasar produksi bioethanol, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas pangan, terutama jika dilakukan produksi bioethanol secara besar-besaran yang otomatis penggunaan pati untuk produksi bioethanol juga semakin besar. Jika hal ini dilakukan maka akan mengakibatkan stabilitas pangan karena adanya pembagian fungsi lahan pertanian, yaitu memproduksi bahan pangan dan memproduksi bahan dasar bioethanol.
            Permasalahan mengenai stabilitas pangan mungkin saja tidak terjadi jika dilakukan perluasan lahan pertanian. Perluasan lahan pertanian ini bertujuan agar tidak terbaginya lahan pertanian penghasil bahan pangan. Akan tetapi perluasan lahan pertanian otomatis akan meningkatkan kebutuhan lahan. Pembukaan lahan pertanian tidak mungkin menggusur pemukiman, yang paling mungkin dilakukan adalah dengan membuka lahan baru dengan membabat hutan. Pembabatan hutan ini akan berdampak buruk bagi ekosistem dan juga menjadi faktor penyebab global warming.
            Permasalahan mengenai stabilitas pangan dan lahan mungkin tidak berlaku untuk bioethanol generasi kedua. Bioethanol generasi kedua ini memanfaatkan limbah lignoselulosa yang bukan merupakan bahan pangan, misalnya jerami padi. Pemanfaatan limbah lignoselulosa juga tidak menimbulkan permasalahan lahan karena tidak perlu perluasan lahan untuk produksi lignoselulosa karena hanya memanfaatkan limbah pertanian yang tidak digunakan.
Permasalahan untuk bioethanol generasi kedua terletak pada produksinya. Pengolahan lignoselulosa agar menjadi ethanol jauh lebih rumit daripada pengolahan pati. Proses pengolahan limbah jerami menjadi ethanol lebih panjang daripada pengolahan bahan baku yang mengandung pati ( amilum ). Hal ini dikarenakan pada biomassa selulosa terdapat lignin dan hemiselulosa yang melapisi selulosa. Produksi bioethanol yang berasal dari biomassa lignoselulosa disebut sebagai bioethanol generasi kedua ( Tan et all, 2008 ). Sebelum proses fermentasi yang mengubah glukosa menjadi ethanol, limbah jerami harus melewati dua tahap tambahan yang memecah lapisan lignin dan selulosa serta tahap yang memecah ikatan selulosa sehingga menjadi glukosa. Tahapan tambahan tersebut disebut tahap pretreatment dan tahap hidrolisis. Di Indonesia, produksi bioethanol generasi kedua ini masih sangat jarang.
            Pada proses produksi bioethanol, baik generasi pertama maupun kedua, terdapat tahap destilasi dan evaporasi. Tahap ini bertujuan untuk memurnikan ethanol menjadi lebih dari 95%. Agar dapat digunakan sebagi bahan bakar maka hasil fermentasi yang menghasilkan 40% harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air kemudian diembunkan sekali (evaporasi) (Nurdyastuti, tanpa tahun). Pada tahap ini diperlukan suhu yang tinggi untuk menguapkan dan meisahkan alkohol dengan bahan lainnya. Untuk memanaskan otomatis diperlukan energi dalam jumlah yang tidak sedikit. Penggunaan energi juga menjadi masalah. Jika pemanasan dilakukan secara manual menggunakan api maka akan turut menyumbang gas rumah kaca.
            Penggunaan bioethanol sebagai sumber energi juga menjadi sedikit masalah. Karena hasil pembakaran ethanol akan menghasilkan gas CO2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab global warming.
            Saat ini di Indonesia penggunaan dan produksi bioethanol yang umum adalah bioethanol generasi pertama. Jika dilakukan pengembangan produksi bioethanol generasi pertama maka akan berdampak buruk pada stabilitas pangan dan pengurangan lahan hutan. Sedangkan produksi bioethanol generasi kedua masih belum banyak dilakukan karena proses yang lebih rumit. Tahap destilasi dari produksi bioethanol dan hasil pembakaran bioethanol yang menghasilkan CO2 juga menjadi masalah tersendiri. 

Biodiesel
            Biodiesel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Minyak nabati ini bisa berasal dari minyak jarak, minyak kelapa sawit, atau minyak lainnya. Biodiesel yang sekarang sudah banyak diproduksi adalah yang berasal dari minyak jarak. Penggunaan biodiesel ini bisa digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel.
            Produksi biodiesel yang berasal dari minyak nabati ini melalui proses yang cukup rumit. Proses tersebut mencakup ekstraksi, esterifikasi dan destilasi. Dengan proses produksi yang rumit ini menjadi kekurangan dari biodiesel sebagai bioenergi. Selain itu, karena ekstraksi bertujuan mengambil minyak atau asam lemak dari bahan nabati, maka ototmatis bagian yang bisa dimanfaatkan untuk diolah menjadi biodiesel sangat sedikit. Tidak semua bagian bahan nabati digunakan. Hal ini dikarenakan kandungan metabolit sekunder berupa minyak kandungannya sangat sedikit dalam buah. Sehingga diperlukan sangat banyak bahan baku untuk mendapatkan sejumlah minyak untuk diolah menjadi biodiesel. Untuk menyediakan bahan baku dalam jumlah banyak otomatis diperlukan lahan yang luas untuk memproduksi bahan bakunya sehingga akan menimbulkan masalah baru di bidang pembukaan lahan pertanian baru.
            Pemanfaatan biodiesel yang terbatas pada mesin diesel, merupakan salah satu kekurangan dari biodiesel. Hal ini dikarenakan biodiesel tida bisa digunakan sebagai sumber energi lain selain transportasi atau mesin diesel. Sedangkan seperti yang kita ketahui, kebutuhan akan bioenergi tidak hanya digunakan untuk faktor transportasi saja.
            Biodiesel yang merupakan metil ester jika mengalami pembakaran akan menghasilkan CO2. Seperti yang kita ketahui CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi dalam global warming. Sehingga dengan semakin banyaknya pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar ototmatis juga menyumbangkan gas rumah kaca yang berakibat pada global warming

Biogas
            Biogas merupakan gas yang dihasilkan pada pemecahan biomassa secara anaeorbik oleh bakteri-bakteri. Proses produksinya diperlukan instalasi tertentu yang mampu menampung biomassa dan tertutpup sehingga dapat dipecah secara anaerob oleh bakteri. Proses pemecahan menghasilkan gas metan (CH4) sebesar 55-65% dan kemudian diikuti oleh Karbondioksida (CO2) sebesar 35-45%, selain itu juga mengandung Nitrogen (N2) sebesar   0-3%, Hidrogen (H2) sebesar 0-1%, Hidrogen Sulfida (H2S) sebesar 0-1% (El Haq dan Soedjono, 2011). Gas metan inilah yang diharapkan pada produksi biogas.
            Beberapa kelemahan dari biogas yaitu berwujud gas sehingga memiliki sifat mobilitas yang kurang. Sehingga jika produksi yang dilakukan oleh suatu kampung, proses distribusinya tidak bisa terlalu jauh. Atau distribusi dilakukan dengan menggunakan saluran pipa dimana semakin jauh jangkauan distribusi maka diperlukan infrastruktur yang lebih memadai pula. Diperlukan pengubahan wujud menjadi cair terlebih dahulu agar mobilitas menjadi lebih mudah.
            Kandungan gas yang kompleks menjadi kekurangan tersendiri dari bagi pemanfaatan biogas. Kandungan dari biogas yang mengalami pembakaran yaitu metan dan hidrogen sedangkan gas lainnya menjadi faktor pengganggu dalam pembakaran. Hasil pembakaran metan yang berupa CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global sehingga secara tidak langsung pemakaian biogas juga berkontribusi pada pemanasan global. Sedangkan pembakaran hidrogen akan menghasilkan uap air yang bukan gas rumah kaca.
            Pemanfaatan biogas juga masih belum terdiferensiasi. Penggunaan biogas terutama untuk memenuhi kebutuhan energi untuk dapur. Sedangkan kebutuhan manusia tidak hanya meliputi energi untuk dapu tetapi juga transportasi dan lainnya. Pengolahan lebih lanjut diperlukan untuk memanfaatkan biogas sebagai sumber listrik. Akan tetapi kelemahan yang paling utama yaitu teknologi transportasi yang sekarang tidak dikembangkan ke arah dimana biogas dijadikan sebagai bahan bakarnya.
            Dengan keterbatasan dan kekurangan dari biogas maka biogas kurang sesuai jika dikembangkan menjadi advance biofuel yang bisa memenuhi kebutuhan sumber energi manusia di segala bidang dan aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Pengembangan lebih lanjut mengnai biogas lebih menjanjikan daripada bentuk bioenergi lain.

Advance Biofuel
            Dari uraian mengenai biogas diungkapkan bahwa terdapat salah satu penyusun dari biogas yaitu unsur hidrogen (H2). H2 merupakan salah satu biogas yang efektif dan efisien sebagai sumber energi alternatif karena menghasilkan energi yang besar pada saat pembakaran (Miyamoto, 1997) dan tidak menyisakan gas rumah kaca seperti CO ataupun CO2 (Hansel, 1998).
            Salah satu kelebihan dari biohidrogen ini yaitu energi yang dihasilkan pada proses pembakarannya sangat besar, yaitu sebesar 118,7 kJ/g. Energi yang dihasilkan tersebut empat kali lebih besar daripada etanol dan dua kali lebih besar daripada metan (Waites et a.,2001). Dengan energi besar yang dihasilkan maka biohidrogen ini sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut dan diproduksi dengan skala besar.
            Selain energi yang dhasilkan dari pembakaran yang sangat besar, kelebihan lainnya dari biohidrogen yaitu sisa hasil pembakarannya berupa uap air (H2O) (Waites  et al., 2001). Sisa pembakaran yang tidak menghasilkan gas rumah kaca sehingga tidak berkontribusi dalam pemanas dian global.
            Teknologi pemanfaatan biohidrogen sebagai sumber energi juga lebih banyak dikembangkan. Baik sektor transportasi maupun sektor rumah tangga. Sehingga pemanfaatan dan pemakaian biohidrogen bisa mencakup segala kebutuhan manusia.
            Biohidrogen memeliki banyak kelebihan yaitu tidak menghasilkan gas rumah kaca sebagai sisa pembakaran, mengahasilkan energi yang lebih besar daripada etanol dan metan, serta pemakaian yang luas sebagai sumber energi. Dengan melihat kelebihan tersebut maka biohidrogen seharusnya dikembangkan dan diproduksi besar-besaran. Biohidrogen sudah memenuhi kriteria advance biofuel yang ramah lingkunngan dan tidak membahayakan kesehatan manusia.