Rabu, 16 Mei 2012

AZOTOBACTER


         
          Azotobacter memiliki ciri-ciri selnya berbentuk oval dengan diameter 1,5-2,0 µm. Azotobacter bersifat pleomorfi, yaitu selnya dapat berbentuk batang sampai kokus. Selnya terdapat individu, berpasangan, atau mengelompok dengan bentuk tidak beraturan, dan kadang-kadang membentuk rantai dengan panjang bervariasi. Azotobacter tidak membentuk endospora tetapi membentuk sista. Azotobacter dalam gram negatif dan ada juga yang bersifat motil karena memiliki flagela peritrik atau nonmotil. Azotobacter bersifat aerob tetapi masih dapat hidup  dengan tekanan oksigen rendah. Bakteri ini termasuk dalam kemoorganotrop yang menggunakan karbon dari gula, alkohol, atau garam dari asam organik untuk tumbuh. Azotobacter mampu memfiksasi  nitrogen sebanyak 10 mg N2 setiap 1 g glukosa yang dikonsumsi. Molibdenum dibutuhkan untuk fiksasi nitrogen tetapi dapat juga digantikan dengan vanadium. Azotobacter tidak memiliki enzim proteolitik sehingga menggunakan sumber nitrogen berupa nitrat dan garam amonium. Azotobacter  juga menghasilkan enzim katalase untuk mengkatalis hidrogen peroksida yang dihasilkan pada proses metabolisme. Azotobacter dapat hidup pada pH 4,8-8,5 dengan pH optimum untuk pertumbuhan dan fiksasi nitrogen 7,0-7,5. Habitat dari Azotobacter  ini yaitu tanah dan air, dan ada juga yang berasosiasi dengan tumbuhan pada bagian akar (Holt et al.,1994).
           Fiksasi nitrogen dianggap sebagai salah satu aktivitas mikroba yang menarik karena dapat me-recycle nitrogen dan berkontribusi pada homeostasis nitrogen di biosfer. Di antara free-living nitrogen-fixing bacteria salah satunya Azotobacter, memiliki habitat yang tersebar yaitu tanah, air, dan sedimen. Pada percobaan di lapangan di bawah kondisi lingkungan, inokulasi Azotobacter memberikan efek menguntungkan pada tanaman, berkaitan dengan peningkatan nitrogen yang difiksasi di tanah, dan sekresi dari mikroba yang menstimulasi hormon giberelin, auksin, dan sitokinin. Azotobacter juga dapat digunakan produksi kompos, berkaitan dengan kemampuannya memfiksasi nitrogen dan melarutkan fosfat (Aquilanti et al., 2004). Berdasarkan penelitian dari Ghosh et al. (1997) dan Sorkhoh et al. (2010), menunjukkan bahwa Azotobacter, selain mampu memfiksasi nitrogen juga mampu mereduksi merkuri dengan cara mengubah menjadi bentuk volatil. Azotobacter juga memiliki organomerkuri lyase yang mengubah organomerkuri menjadi merkuri anorganik, sehingga termasuk dalam broad spectrum.



Selasa, 01 Mei 2012

MANGROVE


         
         Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas.  Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983).   Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia,  Rhizophora,  Bruguiera,  Ceriops,  Lumnitzera,  Excoecaria,  Xylocarpus, Aegiceras,  Scyphyphora  dan  Nypa.
Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu  atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi  tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di  bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih  dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8%.  Snedaker (1978) memberikan pengertian panjang mengenai hutan mangrove, yakni suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove  merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona  intertidal zropika dan subtropika berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi organisme yang tidak dapat hidup dalam  lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophitic vegetation).  Menurut Nybakken (1993), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus  (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968).
        
       Organisme penyusun ekosistem mangrove yaitu tumbuhan mangrove itu sendiri dan organisme lain, misalnya bakteri, serangga, ikan, burung dsb. Khusus untuk tumbuhan penyusun mangrove, terdapat klasifikasi dan zonasi tertentu. Menurut Tomlinson (1986), vegetasi mangrove dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Mangrove mayor, yaitu tumbuhan yang sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di daerah pasang surut dan tidak tumbuh di ekosistem lain. Tumbuhan ini beradaptasi secra morfologi dan fisiologi untuk hidup dalam lingkungan mangrove. Contoh tumbuhan yang termasuk dalam mangrove mayor antara lain Avicennia, Bruguiera, Ceriops,  Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia (Setiawan et al, 2002).
b. Mangrove minor, yaitu tumbuhan hidup di tepian ekosistem mangrove dan tidak mampu membentuk komponen utama vegetasi yang mencolok. Tumbuhan yang termasuk dalam mangrove minor yaitu Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus (Setiawan et al, 2002).
c. Mangrove asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya merupakan vegetasi transisi ke  daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina,  beberapa polong, serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh  Ipomoea pes-caprae, Sesuvium portucalastrum  dan  Salicornia arthrocnemum  mengikat pasir pantai. Spesies seperti  Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa  (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain (Setiawan  et al, 2002).
            Selain tumbuhan, organisme mikro juga banyak sekali ditemukan pada ekosistem mangrove. Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. Sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai.  Perairan payau di muara sungai yang dibatasi mangrove merupakan standing stock fitoplankton, sangat rapat didominasi oleh diatom, khususnya genus  Coscinodiscus, Pleurosigma,  dan  Biddulphia.  Adapun zooplankton diwakili oleh hampir semua hewan akuatik mulai dari protozoa, telur ikan, dan larva semua hewan Echinodermata. Bakteri patogen seperti  Shigella, Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien, kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia, limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi,  dan alga hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah mangrove yang penting (Setiawan et al, 2002).
Invertebrata yang ditemukan di  hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove (Setiawan et al, 2002).
Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat (Odites), kutu (Crypticerya jacobsoni dan Dysdercus decussatus), kumbang (Monolepta), lalat (Elleipsa quadrifasciata), semut (Tetraponera), dan jengkerik (Apteronemobius asahinai). Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove (Setiawan et al, 2002).
Crustacea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.)  yang salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet. Contoh crustacea lain yang hidup di ekosistem mangrove yaitu Macrobrachium equidens (udang muara), Caridina propinqua, Penaeus (udang laut), Varuna yui (kepiting pendayung), Scylla olivacea (kepiting lumpur kuning), Myomenippe harwicki (kepiting batu), Thalassina anomala (kepiting lumpur), Coenobita cavipes (pong-pongan), dan Euraphia withersi (teritip) (Setiawan et al, 2002).
Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain laba-laba, contohnya Hyllus diardii, Argiope mangal, Ligurra latidens; kutu (mite), misalnya Trombiculus; dan kepiting ladam (Carcinoscorpius rotundicauda). Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia. Contoh molusca yang hidup di ekosistem mangrove yaitu  Nerita lineata, Chicoreus capucinus, Nassarius jacksonianus, Onchidium griseum, dan Marcia marmorata (Setiawan et al, 2002).

Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Contoh jenis ikan yang menghuni ekosistem mangrove yaitu Chanos chanos, Scatophagus argus, Stigmatogobius sadanundio, Oryzias javanicus, Mystus gulio, dan Zenarchopterus buffonis. Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip tersebut. Beberapa jenis ikan gelodok antara lain, Periophthalmodon schlosseri, Periophthalmus novemradiatus, dan  Boleophthalmus boddarti (Setiawan et al, 2002).
Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove. Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora (Setiawan et al, 2002).
Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari makan. Buaya muda memakan  kepiting, udang, ikan gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga menggunakan mangrove sebagai habitat utama (Setiawan et al, 2002).
Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air (Setiawan et al, 2002).
          Mangrove mempunyai banyak manfaat baik langsung maupun tidak langsung, baik ekonomis atau ekologis. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi). Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern. 
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang, kerang, burung, dan biota-biota lain,  serta berperan dalam ekoturisme dan pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan dan gangguan alam. Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah pantai dari erosi, menjaga tanah, dan  stabilisasi sedimen; purifikasi polutan secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.


Referensi :

MacNae, W.  1968.  A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forests in the Indo-West-Pacific Region. Adv. mar. Biol., 6: 73-270.

Noor, Yus Rusila, M. Khazali, I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. 

Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie.  1983.  Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal.

Setiawan, Ahmad Dwi, Ari Susilowati dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove. UNS Press. Semarang

Soerianegara, I.  1987.  Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove.   Jakarta.   Hal 39.

Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.

Minggu, 22 April 2012

Fruiting Myxobacteria



Karakteristik Fruiting Myxobacteria
            Fruiting myxobacteria  merupakan kelompok bakteri anggota dari gliding bacteria. Fruiting myxobacteria sendiri memiliki ciri-ciri merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, tidak memiliki flagela. Fruiting myxobacteria dapat membentuk fruiting bodies yang merupakan kumpulan dari sel. Bakteri jenis ini menunjukkan siklus hidup kompleks yang membutuhkan komunikasi interseluler. Walaupun tidak memiliki flagela tetapi bakteri ini dapat bergerak dengan cara gliding saat terjadi kontak dengan suatu permukaan. Bakteri jenis ini merupakan bakteri kemoorganotrof yang mengonsumsi materi organis atau dari sel bakteri lain dengan cara melisiskan selnya. Bakteri ini bersifat aerob  yang memiliki siklus sitrat lengkap dan resporatory chain (Madigan et al, 2006, Ming Jiang, 2007, dan Reichenbach, 1999). Bakteri ini juga memiliki pigmen yang berfungsi sebagai fotoprotektif dan dapat membentuk myxospore (Madigan et al, 2006).

Ekologi Fruiting Myxobacteria
            Myxobacteria merupakan mikroorganisme yang terdapat dimana-mana mulai dari Antartica sampai daerah tropis, dari permukaan laut sampai ketinggian yang tinggi. Myxobacteria paling banyak ditemukan di daerah yang hangat dan semi kering. Habitat khas dari myxobacteria yaitu tanah, mulain dari pesisir sampai gurun pasir sampai tanah yang subur. Semua myxobacteri bersifat aerobik sehingga hidupnya berada di lapisan paling atas tanah. Myxobacteria juga berkoloni di material tumbuhan yang membusuk termasuk kayu dan kulit kayu yang membusuk dan berasal dari pohon yang hidup dan mati, lichen dan serangga yang terdekomposisi, dan kotoran herbivora. Saat diisolasi dalam ruangan lembab dengan suhu 30oC selama dua hari fruiting body sudah terbentuk dari kotoran yang diisolasi dan dapat digunakan untuk memperoleh isolat murni (Reichenbach, 1999).
            Myxobacteria juga dapat diisolasi dari air tawar karena organisme darat juga sering menggunakan air tawar sehingga mungkin terjadi perpindahan mikroorganisme ke air. Berdasarkan ketahanan myxospore terhadap kekeringan, habitat air tidak terlalu sesuai untuk myxobacteria. Myxobacteria juga pernah diisolasi dari laut diambil dari pasir atau seresah  di daerah intertidal Samudra Atlantik. Akan tetapi semuanya diisolasi dalam media yang rendah kadar garamnya karena myxobacteria tidak bisa mentoleransi salinitas yang terlalu tinggi (Reichenbach, 1999).
            Banyak myxobacteria ditemukan pada habitat lumpur dengan pH basa (pH 6-8.7), misalnya Angiococcus dan Cystobacter tetapi ada juga myxobacteria yang ditemukan pada lingkungan dengan pH 3-4.7, yaitu Myxococcus sp., Corallococcus sp., dan Polyangium sp. Kebanyakan myxobacteria dapat tumbuh optimal pada suhu 30oC yang bersifat mesophilic tetapi juga ditemukan myxobacteria yang dapat tumbuh pada suhu 4-8oC yang bersifat psycrophilic. Di laboratorium, suhu yang biasa digunakan untuk mengkultur myxobacteria adalah 28-34oC dengan waktu generasi 4 dan 14 jam. Sel vegetatif mati pada suhu di atas 45oC tetapi myxospore yang tersuspensi di air dapat mentoleransi suhu 59-60oC. untuk kultur myxobacteria, pH yang sering digunakan yaitu 6.8-7.8, tetapi untuk selulosa degradator lebih rendah dengan limitasi pH 6-6.4. Sehingga pH yang baik untuk isolasi adalah berkisar pada pH 7. Myxobacteri memiliki toleransi garam yang rendah dengan rentang toleransi yang berbeda-beda tiap spesies (Reichenbach, 1999).

Siklus Hidup Fruiting Myxobacteria
            Fruiting Myxobacteria menunjukkan siklus hidup yang kompleks yang membutuhkan komunikasi inetrseluler (Gambar 1). Sel vegetatif mengekskresikan slime dan sel vegetatif bergerak sepanjang permukaan padat dan meninggalkan slime trail di belakangnya. Trail yang terbentuk digunakan oleh sel lain dalam proses swarm sehingga sel dapat bermigrasi dan berkelompok. Fruiting body yang terbentuk merupakan struktur komplekskarena adanya diferensiasi dari sel-sel penyusunnya menjadi bagian stalk  dan bagian sporangium yang mengandung myxospore (Madigan et al, 2006).

Gambar 1. siklus hidup fruiting myxobacteria

Pembentukan fruiting body tidak terjadi selama jumlah nutrien masi mencukupi untuk pertumbuhan sel vegetatif, tetapi saat kehabisan nutrien, sel vegetatif melakukan mekanisme swarm, yaitu bermigrasi untuk berkelompok yang selanjutnya akan membentuk fruiting body. Sel-sel vegetatif tersebut beragregasi karena adanya komunikasi interseluler dengan cara respon kimiawi yang saling disekresikan oleh sel-sel vegetatif sehingga satu sama lain sel-sel vegetatisaling mendekat dan membentuk gundukan atau tumpukan sel. Satu fruiting body bisa tersusun atas 109 atau lebih sel. Gundukan sel vegetatif tersebut semakin meninggi  dan mulai terjadi diferensiasi menjadi stalk dan sporangium (head). Stalk tersusun atas slime dengan sejumlah sel yang terperangkap di dalamnya. Sejumlah besar sel terakumulasi pada bagian sporangium dan berdiferensiasi menjadi myxospore.

Gambar 2. berbagai macam bentuk fruiting body.

Referensi :
Madigan MT dan Martinko JM, 2006.    Brock Biology of Microorganisms. 11nd. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc
McNeil, K. E. dan V. B. D. Skerman. 1972. Examination  of Myxobacteria  by  Scanning Electron Microscopy. International  Journal  of  Systematic  Bacteriology. Vol. 22 No. 04
Ming Jiang , De, Zhi-Hong Wu, Jing-Yi Zhao, Yue-Zhong Li. 2007. Fruiting and non-fruiting myxobacteria: A phylogenetic perspective of cultured and uncultured members of this group. Molecular Phylogenetics and Evolution 44 (2007) 545–552
Reichenbach, Hans. 1999. The ecology of the myxobacteria. Environmental Microbiology (1999) 1(1), 15–21
Sproer, Cathrin, Hans Reichenbach, dan Ecko Stackebrandt. 1999. The correlation between morphological and phylogenetic classification  of myxobacteria. International Journal of Systematic Bacteriology  (1  999), 49,  1255-1 262
Voelz, Herbert dan Martin Dworkin. 1962. Fine Structure of Myxococcus Xanthus During Morphogenesis. Department of Microbiology, Indiana University School of Medicine, Indianapolis, Indiana
Zhong Li, Yue, Wei Hu, Yu-Qing Zhang, Zhi-jun Qiu, Yong Zhang, Bin-Hui Wu. 2002. A simple method to isolate salt-tolerant myxobacteria from marine samples. Journal of Microbiological Methods 50 (2002) 205– 209

Selasa, 17 April 2012

Air Layak Minum


Air merupakan hal yang sangat dibutuhkan baik oleh manusia maupun makhluk hidup lainnya. Kebutuhan akan air oleh manusia terutama digunakan sebagai air minum. Penggunaan air sebagai air minum harus memenuhi standar baku tertentu yang meliputi berbagai aspek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2002, yang dimaksud dengan air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Davies dan Mazumder (2003) mengelompokkan definisi kualitas air menjadi tiga kriteria yang dapat diukur : (1) air bebas bibit penyakit (organisme patogen), (2) air dengan bahan kimia berbahaya di bawah ambang persyaratan dan parameter fisik dengan yang akseptabel, dan (3) air dengan senyawa radioaktif di bawah ambang batas. Syarat kesehatan yang dimaksud adalah standar baku dimana jika air diminum tidak akan menimbulkan masalah kesehatan. Menurut WHO aspek yang harus dipenuhi oleh air agar layak diminum meliputi aspek biologi, aspek kimia, aspek radiologi, dan aspek akseptabilitas atau aspek fisik.

Aspek Biologi
Aspek biologi yaitu berdasarkan ada atau tidaknya mikroorganisme patogen atau non patogen yang terdapat di dalam air minum (Awaludin, 2007). Secara umum, mikroba yang paling banyak mengkontaminasi air adalah mikroba yang berasal dari faeces manusia maupun hewan yang mengkontaminasi. Faeces tersebut merupakan sumber dari mikroba patogenik yang meliputi bakteri, protozoa, dan virus serta cacing (WHO, 2004).
Air minum juga bisa menjadi media penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, protozoa ataupun virus. Oragnisme yang banyak ditemukan di air minum yang membahayakan kesehatan manusia, yaitu (1) bakteri : enteropathogenic Escherichia coli (E. coli 0157:H7), Vibrio cholerae, Shigella, Campylobacter jejuni, Salmonella, Yersinia enterocolitica, (2) protozoa: Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, Balantidium coli, and (3) virus: Norwalk and Norwalk-like, Rotavirus, Hepatitis A and E (Davies dan Mazumder, 2003). Selain bakteri, virus, dan protozoa, organisme penyebab penyakit yang juga tersebar melalui air yaitu cacing. Akan tetapi yang menjadi standar baku biologis menurut KEPMENKES RI tahun 2002 hanya kandungan bakteri coliform dalam air minum, tidak mencamtumkan mikroorganisme lain, yaitu virus, protozoa, dan cacing.

Mikroorganisme lain yang belum menjadi perhatian pemerintah (dalam hal ini Menkes RI) adalah cyanobacteria. Kelimpahan cyanobacteria (blue-green algae) di sumber air minum merupakan isu kesehatan yang penting. Grup alga ini diketahui menghasilkan toksin sehingga cyanobacteria merupakan resiko yang paling besar pada freshwater. Spesies toksigenik yaitu meliputi  Anabaena, Aphanizomenon, Nodularia, Oscillatoria, Microcystis dan dua famili meliputi Prymnesiophyceae dan Dinophyceae. Cyanobacteria diketahui memproduksi racun hepatotoxins, cytotoxins, neurotoxins, dan gastrointestinal disturbances serta respiratory dan reaksi alergi. Cyanotoksin dapat melewati proses water treatment dan resisten pada suhu tinggi (100oC). Oleh karena itu pencegahan blooming cyanobacteria lebih efektif mereduksi toksin daripada water treatment (Davies dan Mazumder, 2003).

Aspek Kimia
Standar baku air minum dari aspek kimia meliputi kandungan bahan organik, kandungan bahan inorganik, tingkat keasaman, tingkat kesadahan, pestisida, dan desinfektan  (Awaludin, 2007; KEPMENKES RI, 2002). Dalam KEPMENKES tahun 2002, standar kandungan bahan organik dan anorganik dibagi menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik yang berpengaruh langsung pada kesehatan dan bahan organik dan anorganik yang kemungkinan menimbulkan keluhan pada konsumen. Standar baku air berdasarkan aspek kimia sudah terinci dan tercantum dalam KEPMENKES RI tahun2002, baik mengenai kandungan bahan organik, kandungan bahan inorganik, pestisida, maupun desinfektan.
Air yang layak minum memiliki kandungan kimia yang tidak melebihi batas yang ditentukan. Tubuh membutuhkan bahan kimia tertentu tetapi dalam jumlah tertentu pula, jika melebihi batas maka akan menyebabkan gangguan. Tubuh juga memiliki ambang batas toleransi bahan kimia yang bisa diakumulasi, jika telah melebih ambang batas maka fungsi organ tubuh akan mengalami gangguan.
Tingkat keasaman dapat mempengaruhi rasa air minum. Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum air layak minum berkisar 6,5-8,5. Dalam PERMENKES RI Nomor 416 Tahun 1990 juga ditentukan derajat kesadahan (CaCO3) maksimum air yang layak minum adalah 500 mg per liter. Akan tetapi derajat kesadahan ini tidak berpengaruh pada kesehatan. Hanya saja kesadahan air ini dapat membentuk kerak jika bereaksi dengan sabun. Kesadahan air ditentukan oleh kandungan kation logam antara lain Ca2+, Mn2+, Sr2+, Fe2+, dan Mg2+ (Awaludin, 2007).
Aspek Radiologis
Air minum mungkin mengandung substansi radioaktif (radionuklida) yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Resiko ini lebih kecil jika dibandingakn dengan resiko yang timbul dari mikroorganisme atau bahan kimia yang mungkin terdapat dalam air minum kecuali dalam keadaan ekstrim (WHO, 2004). Radionuklida yang umum ditemukan di air minum adalah Radon-222 dan Radium, keduanya banyak ditemukan di air tanah. Uranium dan radionuklida lainnya yang berpotensi menjadi kontaminan di air tanah maupun air permukaan (Davies dan Mazumder, 2003).
Penentuan standar baku air minum aspek radiologi yaitu dengan menentukan besaran radiasi sinar alfa dan beta. Berdasarkan KEPMENKES RI tahun 2002, batas maksimum aktivitas sinar alfa yang diperbolehkan yaitu sebesar 0.1 Bq/liter sedangkan batas maksimum aktivitas sinar beta yang diperbolehkan yaitu sebesar 1 Bq/liter.

Aspek Akseptabilitas (Fisik)
            Syarat air minum tidak hanya aman untuk dikonsumsi tapi juga dapat diterima secara fisik, yaitu berdasarkan kenampakan, rasa, dan bau, merupakan prioritas tinggi. Beberapa substansi yang berpengaruh pada kesehatan memiliki efek pada rasa, bau, dan kenampakan air minum yang secara normal menyebabkan penolakan oleh konsumen (WHO, 2004). KEPMENKES RI tahun 2002 menentukn standar baku aspek fisik meliputi warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan.
Penentuan standar baku fisik yang meliputi warna, rasa, bau, temperatur, dan kekeruhan sangat berhubungan dengan zat yang terkandung dalam air atau kondisi air. Warna air minum dipengaruhi oleh adanya zat kimia tertentu yang larut dalam air atau mikroorganik tertentu yang terdapat dalam air. Rasa dan bau juga ditentukan oleh zat yang terlarut dalam air. Rasa dan bau yang tidak enak pada air menggambarkan kualitas air yang buruk. Air minum yang baik adalah air minum yang tidak berbau dan tidak berasa. Temperatur yang tidak normal menunjukkan adanya reaksi kimia yang terjadi dalam, sehingga air yang layak minum dapat disimpulkan memiliki temperatur yang normal. Kekeruhan yang disebabkan banyaknya zat padat tak terlarut juga menurunkan kualitas air berdasrkan kenampakannya. Air yang layak minum haruslah nampak benarbenar jernih (Awaludin, 2007).


Referensi :
Awaludin, N. 2007. Teknologi Pengolahan Air Tanah sebagai Sumber Air Minum pada Skala Rumah Tangga. Seminar ”Peran Mahasiswa Dalam Aplikasi Keteknikan Menuju Globalisasi Teknologi” Pekan Apresiasi Mahasiswa LEM-FTSP Universitas islam indonesia
WHO. 2004. Guidelines for Drinking-water Quality, Fourth Edition. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor  907/Menkes/Sk/Vii/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum
Davies, John-Mark, Asit Mazumder. 2003. Health and environmental policy issues in Canada: the role of watershed management in sustaining clean drinking water quality at surface sources. Journal of Environmental Management 68 (2003) 273–286
 

Ruang Terbuka Hijau



RTH (Ruang Terbuka Hijau) merupakan kebutuhan terhadap suatu wilayah. Pengembangan RTH seharusnya dialokasikan pada posisi sentral pada kebijaksanaan spasial (Maas et al.,  2006). Pada umumnya, luasan area RTH berkorelasi negatif terhadap jumlah penduduk, berarti semakin banyak jumlah penduduk maka semakin sempit RTH yang ada padahal kebutuhan RTH meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk (Maas et al.,  2006). Hal ini seperti yang terjadi di Hanoi, dimana diperlukan peningkatan luas RTHJ dari 6842 ha menjadi 10.228 ha pada tahun 2020 sementara jumlah penduduk terus bertambah (Uy dan Nakagoshi, 2008). Kesulitan utama dalam implementasi RTH pada suatu regional dan perkotaan yaitu adanya kebijakan pengembangan industri dan pelayanan umum dimana pengembangan industri kerap menginvasi RTH yang terletak berdekatan dengan industri tersebut, pembangunan infrastruktur perkotaan yang biasanya menggusur RTH, dan permasalahan finansial dan pendapatan yang membatasi kemungkinan untuk menciptakan RTH baru dan mengelola RTH (Li et al., 2005).
Pengembangan RTH secara ekologis harus mempertimbangkan konten ekologis, konteks ekologis, dinamika ekologis, heterogenitas ekologis, dan hierarki ekologis (Flores et al.,  1998). Pemilihan spesies yang akan ditanam untuk dijadikan RTH juga harus memenuhi kriteria utama yaitu memiliki kemampuan mengurangi polusi udara dan sesuai untuk lingkungan kota. Kriteria pertama yaitu memiliki kemampuan mengurangi polusi mencakup kriteria lain yaitu jenis pohon (evergreen/deciduous), dimensi (tinggi pohon dewasa, ukuran kanopi), laju pertumbuhan, karakteristik daun, toleran terhadap polusi udara, dan potensi emisi VOC (Volatile Organic Compound) dan pollen). Sedangkan kriteria kedua yaitu sesuai dengan lingkungan perkotaan mencakup kriteria toleran terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap berbegai kondisi tanah, mampu beradaptasi dengan iklim, toleran terhadap kekeringan, dan berumur panjang (Yang et al., 2005)
RTH memberikan manfaat multidimensional (Millard, 2000). Adanya RTH memberikan keuntungan di berbagai bidang, antara lain ekonomi, sosial, dan lingkungan. Keuntungan di bidang ekonomi mencakup biaya (reklamasi dan regenerasi), ketenagakerjaan (kesejahteraan), efisiensi energi ( pemanasan dan pendinginan), investasi ke dalam, nilai jual tanah (harga tanah, properti, pajak), pariwisata, dan industri. Keuntungan di bidang sosial meliputi  aksesibilitas, kenyamanan publik, peningkatan interaksi publik, konservasi warisan budaya, pendidikan, aset rekreasi, estetika, reduksi kriminalitas, mitigasi bencana alam. Keuntungan di bidang lingkungan meliputi perbaikan kualitas udara, temperatur, dan polutan, biodiversitas, mitigasi perubahan iklim, penghasil oksigen, konservasi alam, kualitas dan stabilisasi tanah, dan kualitas air (Doick et al., 2009; Tiwary et al., 2009; Escobedo et al., 2011; Greca et al.,  2011; Keenleyside et al., 2009; Kleerekoper et al., 2011; Jim dan Chen, 2009; Cameron et al., 2012). Akan tetapi, menurut Lo dan Jim (2012), RTH lebih difungsikan pada pragmatis mikroklimatik daripada fungsi sosial.
Penelitian dari Jim dan Chen (2010) pada RTH di kota Hongkong menunjukkan bahwa taman kota dapat memunculkan dan meningkatkan nilai ekonomi dengan menyediakan tempat publik yang dapat diakses oleh berbagai kalangan sosial, juga bernilai sosial karena meningkatkan interaksi antar penduduk. Selain itu RTH di Hongkong juga berperan dalam pengurangan polutan udara, sebagai penyangga secara ekologis, dan habitat yang mengakomodasi biodiversitas.
Salah satu peran penting RTH yaitu terhadap pencegahan pemanasan global. RTH mampu menyerap gas CO dan CO2 yang merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Penelitian dari Yang et al. (2005) menunjukkan bahwa pohon yang terletak pada bagian utama kota Beijing telah mampu menyerap CO2 sebanyak 0.2 juta ton dalam bentuk biomassa. Selain menyerap gas CO dan CO2 yang merupakan gas rumah kaca, RTH juga berperan dalam mengemisikan VOC (Volatile Organic Compound) ke atmosfer yang berperan dalam pembentukan lapisan ozon (Tiwary et al., 2009; Bealey et al., 2007; kleerekoper et al., 2011). Selain itu, adanya RTH juga meminimalisasi efek dari pemanasan global, dimana dengan adanya RTH dapat menurunkan suhu (Keenleyside et al., 2009; Kleerekoper et al., 2011), yaitu sebanyak 0.5oC – 2.3oC (Hall  et al.,  2011).
RTH juga berkorelasi positif terhadap kesehatan penduduk (Maas et al.,  2006; Tiwary et al., 2009). Kuantitas dan kualitas RTH berpengaruh signifikan terhadap kesehatan (Mitchell and Propham, 2007). Menurut penelitian dari Dadvand et al. (2012) RTH memberikan pengaruh positif terhadap kelahiran, yaitu peningkatan berat bayi yang dilahirkan pada kelompok sosial terendah. Selain itu, penelitian dari Richardson dan Mitchell (2010) membuktikan bahwa tingkat kematian penyakit kardiovaskuler dan penyakit respiratory pada pria menurun dengan adanya peningkatan luasan RTH, tetapi tidak terlalu signifikan pada wanita.
            Keberadaan RTH juga berperan dalam meminimalisasi polusi lingkungan oleh kontaminan. Penelitian Yang et al. (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2002 pohon yang terletak di bagian utama kota Beijing telah menghilangkan polutan dari udara sebanyak 1261.4 ton. Berdasarkan penelitian dari Peachey et al. (2009) disebutkan bahwa tumbuhan yang berada di sebelah jalan raya yang berfungsi sebagai RTH memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat pada jaringan daunnya. Selain logam berat, adanya RTH juga mampu mengurangai polusi udara atas Particulate Matter (PM) (Lohr dan Mims, 1995), yaitu sebanyak 772 ton (Yang et al., 2005). Penelitian dari Tallis et al. (2011) disebutkan bahwa RTH di GLA (Great London Authority) diestimasikan telah mengurangi PM10 sebanyak 852 – 2121 ton tiap tahun, yang merepresentasikan 0.7% - 1.4% dari PM10 total. Sedangkan pada penelitian dari Bealey et al. (2007) disebutkan bahwa RTH di UK local authority mampu mereduksi PM10 sebanyak 7-20%.
            Contoh konkret dari RTH yang memberikan manfaat di bidang perekonomian yaitu di kota Canberra. RTH memiliki nilai signifikan pada potensinya untuk mereduksi konsumsi energi dan memperbaiki tingkat polusi. Dengan kemampuan ini dapat diestimasi biaya ameliorasi tingkat polusi di Canberra yang dapat dihemat antara 2008 sampai 2012 yaitu mencapai US$20–$67 million (atau $66–$223/resident) (Brack, 2002).



Referensi
Bealey, W.J., A.G. McDonald, E. Nemitz, R. Donovan, U. Dragosits, T.R. Duffy, D. Fowler. 2007. Estimating the reduction of urban PM10 concentrations by trees within an environmental information system for planners. Journal of Environmental Management 85 (2007) 44–58
Brack, C.L. 2002. Pollution mitigation and carbon sequestration by an urban forest. Environmental Pollution 116 (2002) S195–S200
Ross W.F. Cameron, Tijana Blanu, Jane E. Taylor, Andrew Salisbury, Andrew  J.  Halstead,  Béatrice  Henricotb,  Ken  Thompson. 2012. The  domestic  garden    Its  contribution  to  urban  green  infrastructure. Urban  Forestry  &  Urban  Greening  xxx (2012) xxx–   xxx
Dadvand, Payam, Audrey de Nazelle, Francesc Figueras, Xavier Basagaña, Jason Su, Elmira Amoly, Michael Jerrett, Martine Vrijheid, Jordi Sunyer, Mark J. Nieuwenhuijsen. Green space, health inequality and pregnancy. Environment International 40 (2012) 110–115
Doick, K.J., G. Sellers, V. Castan-Broto, T. Silverthorne. 2009. Understanding success in the context of brownfield greening projects: The requirement for outcome evaluation in urban greenspace success assessment. Urban Forestry & Urban Greening 8 (2009) 163–178
Escobedo, Francisco J., Timm Kroeger, John E. Wagner. Urban forests and pollution mitigation: Analyzing ecosystem services and disservices. Environmental Pollution 159 (2011) 2078-2087
Flores, Alejandro, Steward T.A. Pickett, Wayne C. Zipperer, Richard V. Pouyat, Robert Pirani. 1998. Adopting a modern ecological view of the metropolitan landscape: the case of a greenspace system for the New York City region. Landscape and Urban Planning 39 1998 295–308
Greca, Paolo La, Daniele La Rosa, Francesco Martinico, Riccardo Privitera. 2011. Agricultural and green infrastructures: The role of non-urbanised areas for eco-sustainable planning in a metropolitan region. Environmental Pollution 159 (2011) 2193-2202
Hall, Justine  M. ,  John  F.  Handley,  A.  Roland  Ennos. The potential of tree planting to climate-proof high density residential areas in Manchester, UK. Landscape  and  Urban  Planning  104 (2012) 410–417
Jim, C.Y., Wendy Y. 2009. Chen. Ecosystem services and valuation of urban forests in China. Cities 26 (2009) 187–194
Jim C.Y., Wendy Y. Chen.  2010. External effects of neighbourhood parks and landscape elements on high-rise residential value. Land Use Policy 27 (2010) 662–670
Keenleyside, Clunie, David Baldock, Peter Hjerp, Vicki Swales. 2009. International perspectives on future land use. Land Use Policy 26S (2009) S14–S29
Kleerekoper, Laura, Marjolein  van  Esch, Tadeo  Baldiri  Salcedo. 2011. How to make a city climate-proof, addressing the urban heat island effect. Resources,  Conservation  and  Recycling  xxx (2011) xxx–   xxx
Li, Feng, Rusong Wanga,Juergen Paulussena, Xusheng Liu. 2005. Comprehensive concept planning of urban greening based on ecological principles: a case study in Beijing, China. Landscape and Urban Planning 72 (2005) 325–336
Lo, Alex  Y.H.,  C.Y.  Jim. 2012. Citizen attitude and expectation towards greenspace provision in compact urban milieu. Land  Use  Policy  29 (2012) 577–586

Lohr, Virginia  I. and  Caroline  H.  Pearson-Mims. 1995. Particulate Matter Accumulation On Horizontal  Surfaces  In  Interiors:  Influence  Of Foliage  Plants. Atmospheric Environment  Vol. 30, No.  14, pp.  2565-2568,  1996
Maas, Jolanda, Robert A Verheij, Peter P Groenewegen, Sjerp de Vries, Peter Spreeuwenberg. 2006. Evidence Based Public Health Policy And Practice: Green space, urbanity, and health: how strong is the relation?. J Epidemiol Community Health;60:587–592
Millard, Andy. 2000. The potential role of natural colonisation as a design tool for urban forestry Ð a pilot study. Landscape and Urban Planning 52 (2000) 173-179
Mitchell, Richard, Frank Popham. 2007. Evidence Based Public Health Policy And Practice: Greenspace, urbanity and health: relationships in England. J Epidemiol Community Health 2007;61:681–683
Peachey, C.J., D. Sinnett, M. Wilkinson, G.W. Morgan, P.H. Freer-Smith, T.R. Hutchings. 2009. Deposition and solubility of airborne metals to four plant species grown at varying distances from two heavily trafficked roads in London. Environmental Pollution 157 (2009) 2291–2299
Richardson,  Elizabeth A., Richard Mitchell. 2010. Gender differences in relationships between urban green space and health in the United Kingdom. Social Science & Medicine 71 (2010) 568-575
Tallis, Matthew,  Gail  Taylor,  Danielle  Sinnett,  Peter  Freer-Smith. Estimating  the  removal  of  atmospheric  particulate  pollution  by  the  urban  tree canopy of London, under current and future environments. Landscape and Urban Planning 103 (2011) 129– 138
Tiwary, Abhishek, Danielle Sinnett, Christopher Peachey, Zaid Chalabi, Sotiris Vardoulakis, Tony Fletcher, Giovanni Leonardi, Chris Grundy, Adisa Azapagic, Tony R. Hutchings. 2009. An integrated tool to assess the role of new planting in PM10 capture and the human health benefits: A case study in London. Environmental Pollution 157 (2009) 2645–2653
Uy Pham Duc dan Nobukazu Nakagoshi. 2008. Application of land suitability analysis and landscape ecology to urban greenspace planning in Hanoi, Vietnam. Urban Forestry & Urban Greening 7 (2008) 25–40
Yang, Jun, Joe McBride, Jinxing Zhoub, Zhenyuan Sun. The urban forest in Beijing and its role in air pollution reduction. Urban Forestry & Urban Greening 3 (2005) 65–78


Jumat, 13 April 2012

Bioremediasi Aplikatif untuk Mengatasi Oil Spill


           Bioremediasi yang bisa diterapkan pada tumpahan minyak pada suatu ekosistem laut dibagi menjadi 3 yaitu nutrient enrichment, seeding menggunakan  mikroorganisme alam, dan seeding dengan menggunakan mikroorganisme hasil rekombinasi genetik (US. Congress, 1991).
Nutrient Enrichment
            Dari semua faktor yang berpotensi untuk membatasi laju biodegradasi petroleum di lingkungan laut, kurang tersedianya nutrien, misalnya nitrogen dan fosfor, kemungkinan merupakan faktor yang paling penting dan paling mudah dimodifikasi. Pendekatan ini membutuhkan penambahan nutrien tersebut yang membatasi laju biodegradasi (tapi tidak menambahkan mikroorganisme) pada area tumpahan minyak dan secara konseptual tidak jauh berbeda dengan memberi pupuk pada ladang. Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah bahwa mikroorganisme pendegradasi minyak biasanya melimpah di lingkungan laut dan beradaptasi dengan baik untuk resisten pada stres lingkungan. Ketika minyak terlepas dalam jumlah besar, kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi petroleum dibatasi oleh kurang mencukupinya nutrien. Penambahan nitrogen, fosfor, dan nutrien lain dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya nutrien dan memungkinkan untuk proses biodegradasi petroleum pada laju yang optimal (US Congress, 1991).

Seeding with Naturally Occurring Microorganisms
            Seeding (disebut juga inokulasi) merupakan penambahan mikroorganisme pada suatu lingkungan untuk menaikkan laju biodegradasi. Inokulum bisa merupakan campuran dari mikroba nonindigenous dari berbagai lingkungan yang terpolusi, terutama yang dipilih dan dikultivasi untuk karakterisitik pendegradasi minyak, atau bisa merupakan campuran dari mikroba pendegradasi minyak yang diambil dari area yang akan diremediasi.  Nutrien juga selalu disertakan seed culture. Dasar pemikiran penambahan mikroorganisme pada area tumpahan minyak mungkin populasi mikroorganisme indigenous tidak termasuk dalam pendegradasi minyak dan dibutuhkan mikroorganisme tertentu untuk mendegradasi secara efisien banyak komponen minyak (US Congress, 1991).
Introduksi mikroorganisme non indigenous pada lingkungan laut masih perlu dievaluasi. Banyak ilmuwan mempertanyakan penambahan mikroba pada area tumpahan minyak karena kebanyakan area tersebut memiliki mikroba pendegradasi minyak indigenous, dan kebanyakan biodegradasi lebih dibatasi oleh kurangnya nutrien bukan kurangnya mikroba.
Mikroba introduksi tidak hanya harus mampu mendegradasi petroleum lebih baik daripada mikroba indigenous., mikoba introduksi juga harus mampu berkompetisi untuk kelangsungan hidup melawan campuran populasi organisme indigenous yang teradaptasi di lingkungan mereka.  Mikroba introduksi juga harus mampu mengatasi kondisi fisik (misalnya temperatur air, kimia, dan salinitas) dan predasi oleh spesies lain, faktor-faktor dimana organisme asli lebih teradaptasi.
            Waktu yang dibutuhkan mikroba introduksi untuk mulai memetabolisme hidrokarbon juga penting. Jika seed culture dapat menstimulasi kecepaatan biodegradasi, maka mikroba introduksi memiliki keuntungan daripada mikroba indigenous yang mungkin membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Seed culture juga harus stabil secara genetis, tidak bersifat patogenik, dan tidak menghasilkan metabolit beracun.

Seeding with Genetically Engineered Microorganisms (GEM)
Alasan dibuatnya organisme adalah kemungkinan dapat didesain untuk mampu mendegradasi fraksi petroleum lebih efektif daripada spesies alami atau mampu mendegradasi fraksi petroleum yang tidak dapat didegradasi oleh spesies alami. Agar efektif, mikroorganisme harus bisa mengatasi semua permasalahan terkait dengan seeding pada tumpahan minyak dengan mikroba non indigenous.
Pengembangan dan penggunaan GEM ini masih terbatasi oleh ilmu pengetahuan, ekonomi, regulasi, dan hambatan pandangan publik, penggunaan GEM untuk remediasi lingkungan kemungkinan tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kurangnya penelitian infrastruktur, predominansi perusahaan di bidang bioremediasi, kurangnya sharing data, dan halangan regulasi merupakan penghalang dalam penggunaan GEM secara komersial (US Congress, 1991).
Pengembangan GEM untuk aplikasi pada tumpahan minyak di laut bukan merupakan prioritas tinggi. Banyak pihak yang menilai bahwa mikroorganisme alami memiliki potensi tinggi untuk mendegradasi tumpahan minyak di laut sehingga GEM masih belum terlalu dibutuhkan.

Pengaruh Aplikasi Teknologi Bioremediasi pada Lingkungan dan Kesehatan Manusia
 Sampai saat ini, tidak ada masalah lingkungan atau kesehatan yang berhubungan dengan pengujian atau aplikasi dari teknologi bioremediasi pada tumpahan minyak di laut. Pengalaman dengan bioremediasi di laut masih terbatas, tapi masih terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa bioremediasi pada tumpahan minyak di laut aman atau risiko yang mungkin terjadi masih dapat ditoleransi. 
Perhatian terhadap beberapa efek lingkungan yang berpotensi merugikan semakin meningkat. Saah satunya yaitu kemungkinan terjadinya eutrofikasi karena penambahan nutrien (fertilizer), menyebabkan blooming alga dan deplesi oksigen; komponen dari fertilizer mungkin juga bersifat racun pada biota laut yang sensitif atau berbahaya bagi kesehatan manusia; introduksi mikroorganisme non indigenous bisa bersifat patogen bagi beberapa spessies indigenous; penggunaan teknologi bioremediasi juga dapat mengganggu keseimbangan ekologis; dan beberapa produk intermediet dari bioremediasi kemungkinan juga berbahaya.
Efek merugikan yang mungkin terjadi pada nutrient enrichment telah diteliti pad tahun 1989-90 di Alaska. Untuk mendeterminasi potensi eutrofikasi, ilmuwan mengukur kadar amonia, fosfat, klorofil, jumlah bakteri, dan produktivitas primer di kolom air secara langsung pada lepas pantai yang ditreatment dengan fertilizer dan juga di area kontrol. Ilmuwan tidak menemukan perbedaan yang signifikan diantara area kontrol dan area experiment. Tidak ada indikasi bahwa aplikasi fetilizer menstimulasi alga bloom. Akan tetapi hasil penelitin ini tidak selalu bisa berlaku pada lingkungan dengan kondisi yang berbeda dan spesies indigenous yang berbeda (US Congress, 1991).
Kemungkinan toksisitas komponen fertilizer juga telah diuji di laboratorium dan lapangan pada beberapa biota laut, termasuk sticklebacks fish, Pacific herring, silver salmon, mussels, oysters, shrimp, dan mysids. Hasil pengujian menunjukkan bahwa komponen tertentu dari fertilizer bersifat sedikit toksik pada larva kerang yang merupakan spesies biota laut yang paling sensitif. Amonia, salah satu komponen fertilizer yang menunjukkan sifat toksik akut pada hewan laut, tidak pernah mencapai level toksik, kemungkinan dipengaruhi oleh fertilizer yang dilepas di laut lepas.
Butoxyethanol yang merupakan komponen pokok dari fertilizer oleofilik berpotensi berbahaya bagi beberapa hewan laut. Komponen ini terveaporasi dari permukaan pantai kurang dari 24 jam. Diperlukan tindakan tertentu ketika mengaplikasikan oleofilik fertilizer untuk mencegah inhalasi atau kontak dengan kulit. Ilmuwan juga menunjukkan bahwa minyak yang telah mengalami treatment tidak tercuci dan terakumulasi di jaringan spesies biota laut yang diuji. Di lingkungan ini, dilusi, pasang surut, dan evaporasi mereduksi potensi pengaruh yang signifikan. Di lingkungan lain, keberadaan spesies, kedalaman air, dan termepratur air merupakan variabel yang mempengaruhi estimasi potensi pengaruh (US Congress, 1991).
Belum ada bukti yang menyatakan bahwa mikroba introduksi mungkin bersifat patogen bagi organisme lain. Dalam sebuah experimen di North Slope, ilmuwan tidak menemukan adanya kematian invertebrata yang lebih besar dengan bacterial seeding (atau fertilisasi) daripada yang terjadi saat tumpahan minyak. Mikroorganisme yang akan digunakan sebagai kandidat untuk seeding harus diteliti terlebih dulu apakah bersifat patogen pada manusia atau hewan atau tidak, termasuk patogen oportunistik seperti Pseudomonas spp.
Kemungkinan mikroba introduksi untuk berproliferasi dan mengganggu keseimbangan ekologis kurang menjadi perhatian. jika mikroba introduksi efektif, mikroorgnaisme tersebut akan mati dan dimangsa oleh protozoa setelah mereka menggunakan minyak dari tumpahan. Perhatian lebih besar yaitu mikroba yang diintroduksi dari lingkungan lain tidak akan mampu berkompetisi sebaik spesies indigenous dan akan mati sebelum mereka mendegradasi minyak secara efektif.
Perhatian yang sama dan lebih besar pada mikroorganisme rekombinan yang diintroduksi. Sebelum organisme diintroduksi pada lingkungan laut, pengetahun mengenai potensi pengaruh pada lingkungan sangat dibutuhkan dan regulasi ofisial dan publik akan menjadi lebih familiar dengan teknik mitigasi biologis.
Perhatian ekstra adalah bahwa bakteri yang mendegradasi hidrokarbon kompleks yang terkandung dalam minyak mungkin meninggalkan produk dari biodegradasi parsial yang lebih toksik pada organisme laut daripada komponen original dari minyak. Produk interrmediet misalnya quinon dan naftalena mungkin terdegradasi lebih jauh dan tidak terakumulasi di lingkungan (US Congress, 1991).

Teknologi Bioremediasi Minim Resiko
            Penggunaan teknologi bioremediasi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ekologi, ekonomi, keamanan, dan efisiensi serta efektivitas. Ketiga teknologi bioremediasi yang dijelaskan di atas masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan jika diaplikasikan. Pengaplikasian teknologi bioremediasi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat terjadinya tumpahan minyak serta daya dukung lainnya.
            Ketiga teknologi bioremediasi di atas termasuk dalam bioremediasi in situ. Bioremediasi in situ adalah pengaplikasian teknologi bioremediasi langsung di tempat terjadinya tumpahan minyak (tempat terkontaminasi). Kelebihan bioremediasi in situ adalah biaya yang lebih murah karena tidak perlu melakukan relokasi area yang terkontaminasi. Akan tetapi kekurangannya yaitu memungkinkan terjadinya gangguan ekologis di sekitar area kontaminasi dan kontrolling kondisi area lebih sulit dilakukan.
            Melihat kekurangan dari bioremediasi in situ yang memungkinkan terjadinya gangguan secara ekologis, maka lebih baik remediasi dilakukan secara ex situ. Walaupun bioremediasi ex situ mebutuhkan biaya operasional yang lebih mahal tetapi kemungkinan efek negatif bioremediasi yang dilakukan dapat di lokalisir. Selain itu kontrolling dan modifikasi kondisi dapat lebih mudah dilakukan untuk meningkatkan laju biodegradasi sehingga proses bioremediasi lebih optimal.
            Bioremediasi ex situ dapat dioptimalkan dengan merelokasi bagian yang terkontaminasi dengan tumpahan minyak pada suatu lokasi. Lokasi yang digunakan harus dipastikan tertutup dari lingkungan sekitar untuk menghindarkan meluasnya kontaminasi atau meluasnya efek negatif bioremediasi. Setelah dilakukan relokasi bioremediasi dapat dilakukan dengan seeding mikroorganisme tertentu yang memiliki kemampuan utnutk mendegradasi minyak. Kondisi dari lokasi dapat dimodifikasi yaitu dengan meningkatkan suhu menjadi optimal bagi mikroorganisme utntuk medegradasi minyak, menambahkan nutrien yang diperlukan mikroorganisme pendegradasi minyak, dan juga dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk memaksimalkan proses biodegradasi.