Rabu, 16 Mei 2012

AZOTOBACTER


         
          Azotobacter memiliki ciri-ciri selnya berbentuk oval dengan diameter 1,5-2,0 µm. Azotobacter bersifat pleomorfi, yaitu selnya dapat berbentuk batang sampai kokus. Selnya terdapat individu, berpasangan, atau mengelompok dengan bentuk tidak beraturan, dan kadang-kadang membentuk rantai dengan panjang bervariasi. Azotobacter tidak membentuk endospora tetapi membentuk sista. Azotobacter dalam gram negatif dan ada juga yang bersifat motil karena memiliki flagela peritrik atau nonmotil. Azotobacter bersifat aerob tetapi masih dapat hidup  dengan tekanan oksigen rendah. Bakteri ini termasuk dalam kemoorganotrop yang menggunakan karbon dari gula, alkohol, atau garam dari asam organik untuk tumbuh. Azotobacter mampu memfiksasi  nitrogen sebanyak 10 mg N2 setiap 1 g glukosa yang dikonsumsi. Molibdenum dibutuhkan untuk fiksasi nitrogen tetapi dapat juga digantikan dengan vanadium. Azotobacter tidak memiliki enzim proteolitik sehingga menggunakan sumber nitrogen berupa nitrat dan garam amonium. Azotobacter  juga menghasilkan enzim katalase untuk mengkatalis hidrogen peroksida yang dihasilkan pada proses metabolisme. Azotobacter dapat hidup pada pH 4,8-8,5 dengan pH optimum untuk pertumbuhan dan fiksasi nitrogen 7,0-7,5. Habitat dari Azotobacter  ini yaitu tanah dan air, dan ada juga yang berasosiasi dengan tumbuhan pada bagian akar (Holt et al.,1994).
           Fiksasi nitrogen dianggap sebagai salah satu aktivitas mikroba yang menarik karena dapat me-recycle nitrogen dan berkontribusi pada homeostasis nitrogen di biosfer. Di antara free-living nitrogen-fixing bacteria salah satunya Azotobacter, memiliki habitat yang tersebar yaitu tanah, air, dan sedimen. Pada percobaan di lapangan di bawah kondisi lingkungan, inokulasi Azotobacter memberikan efek menguntungkan pada tanaman, berkaitan dengan peningkatan nitrogen yang difiksasi di tanah, dan sekresi dari mikroba yang menstimulasi hormon giberelin, auksin, dan sitokinin. Azotobacter juga dapat digunakan produksi kompos, berkaitan dengan kemampuannya memfiksasi nitrogen dan melarutkan fosfat (Aquilanti et al., 2004). Berdasarkan penelitian dari Ghosh et al. (1997) dan Sorkhoh et al. (2010), menunjukkan bahwa Azotobacter, selain mampu memfiksasi nitrogen juga mampu mereduksi merkuri dengan cara mengubah menjadi bentuk volatil. Azotobacter juga memiliki organomerkuri lyase yang mengubah organomerkuri menjadi merkuri anorganik, sehingga termasuk dalam broad spectrum.



Selasa, 01 Mei 2012

MANGROVE


         
         Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas.  Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983).   Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia,  Rhizophora,  Bruguiera,  Ceriops,  Lumnitzera,  Excoecaria,  Xylocarpus, Aegiceras,  Scyphyphora  dan  Nypa.
Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu  atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi  tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di  bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih  dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8%.  Snedaker (1978) memberikan pengertian panjang mengenai hutan mangrove, yakni suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove  merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona  intertidal zropika dan subtropika berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi organisme yang tidak dapat hidup dalam  lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophitic vegetation).  Menurut Nybakken (1993), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus  (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968).
        
       Organisme penyusun ekosistem mangrove yaitu tumbuhan mangrove itu sendiri dan organisme lain, misalnya bakteri, serangga, ikan, burung dsb. Khusus untuk tumbuhan penyusun mangrove, terdapat klasifikasi dan zonasi tertentu. Menurut Tomlinson (1986), vegetasi mangrove dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Mangrove mayor, yaitu tumbuhan yang sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di daerah pasang surut dan tidak tumbuh di ekosistem lain. Tumbuhan ini beradaptasi secra morfologi dan fisiologi untuk hidup dalam lingkungan mangrove. Contoh tumbuhan yang termasuk dalam mangrove mayor antara lain Avicennia, Bruguiera, Ceriops,  Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia (Setiawan et al, 2002).
b. Mangrove minor, yaitu tumbuhan hidup di tepian ekosistem mangrove dan tidak mampu membentuk komponen utama vegetasi yang mencolok. Tumbuhan yang termasuk dalam mangrove minor yaitu Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus (Setiawan et al, 2002).
c. Mangrove asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya merupakan vegetasi transisi ke  daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina,  beberapa polong, serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh  Ipomoea pes-caprae, Sesuvium portucalastrum  dan  Salicornia arthrocnemum  mengikat pasir pantai. Spesies seperti  Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa  (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain (Setiawan  et al, 2002).
            Selain tumbuhan, organisme mikro juga banyak sekali ditemukan pada ekosistem mangrove. Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. Sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai.  Perairan payau di muara sungai yang dibatasi mangrove merupakan standing stock fitoplankton, sangat rapat didominasi oleh diatom, khususnya genus  Coscinodiscus, Pleurosigma,  dan  Biddulphia.  Adapun zooplankton diwakili oleh hampir semua hewan akuatik mulai dari protozoa, telur ikan, dan larva semua hewan Echinodermata. Bakteri patogen seperti  Shigella, Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien, kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia, limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi,  dan alga hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah mangrove yang penting (Setiawan et al, 2002).
Invertebrata yang ditemukan di  hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove (Setiawan et al, 2002).
Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat (Odites), kutu (Crypticerya jacobsoni dan Dysdercus decussatus), kumbang (Monolepta), lalat (Elleipsa quadrifasciata), semut (Tetraponera), dan jengkerik (Apteronemobius asahinai). Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove (Setiawan et al, 2002).
Crustacea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.)  yang salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet. Contoh crustacea lain yang hidup di ekosistem mangrove yaitu Macrobrachium equidens (udang muara), Caridina propinqua, Penaeus (udang laut), Varuna yui (kepiting pendayung), Scylla olivacea (kepiting lumpur kuning), Myomenippe harwicki (kepiting batu), Thalassina anomala (kepiting lumpur), Coenobita cavipes (pong-pongan), dan Euraphia withersi (teritip) (Setiawan et al, 2002).
Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain laba-laba, contohnya Hyllus diardii, Argiope mangal, Ligurra latidens; kutu (mite), misalnya Trombiculus; dan kepiting ladam (Carcinoscorpius rotundicauda). Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia. Contoh molusca yang hidup di ekosistem mangrove yaitu  Nerita lineata, Chicoreus capucinus, Nassarius jacksonianus, Onchidium griseum, dan Marcia marmorata (Setiawan et al, 2002).

Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Contoh jenis ikan yang menghuni ekosistem mangrove yaitu Chanos chanos, Scatophagus argus, Stigmatogobius sadanundio, Oryzias javanicus, Mystus gulio, dan Zenarchopterus buffonis. Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip tersebut. Beberapa jenis ikan gelodok antara lain, Periophthalmodon schlosseri, Periophthalmus novemradiatus, dan  Boleophthalmus boddarti (Setiawan et al, 2002).
Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove. Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora (Setiawan et al, 2002).
Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari makan. Buaya muda memakan  kepiting, udang, ikan gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga menggunakan mangrove sebagai habitat utama (Setiawan et al, 2002).
Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air (Setiawan et al, 2002).
          Mangrove mempunyai banyak manfaat baik langsung maupun tidak langsung, baik ekonomis atau ekologis. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi). Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern. 
Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang, kerang, burung, dan biota-biota lain,  serta berperan dalam ekoturisme dan pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan dan gangguan alam. Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah pantai dari erosi, menjaga tanah, dan  stabilisasi sedimen; purifikasi polutan secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.


Referensi :

MacNae, W.  1968.  A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forests in the Indo-West-Pacific Region. Adv. mar. Biol., 6: 73-270.

Noor, Yus Rusila, M. Khazali, I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. 

Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie.  1983.  Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal.

Setiawan, Ahmad Dwi, Ari Susilowati dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove. UNS Press. Semarang

Soerianegara, I.  1987.  Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove.   Jakarta.   Hal 39.

Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.